Selasa, 18 Juni 2013

ketrampilan sosial anak


2.1. Keterampilan Sosial
2.1.1. Pengertian Keterampilan sosial
Terdapat berbagai macam definisi mengenai keterampilan sosial. Salah satu definisi keterampilan sosial yang diungkapkan oleh Libet dan Lewinston (dalam Cartledge & Milburn,1995) bahwa keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk berperilaku seperti yang diharapkan orang lain dan tidak melakukan apa yang tidak dikehendaki oleh orang lain. Menurut Combs dan Slaby (dalam Cartledge & Milburn,1995) menjelaskan bahwa keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan sosial dengan cara-cara khusus yang dapat diterima oleh lingkungan dan pada saat bersamaan dapat menguntungkan individu atau bersifat saling menguntungkan atau menguntungkan orang lain.
Eisler dan Frederikson (dalam Cartledge & Milburn,1995) mendes-kripsikan keterampilan sosial sebagai aspek-aspek yang bisa diamati (Observable aspect) dan elemen – elemen kognitif yang tidak dapat diamati (Non Observable Cognitive element). Elemen tersebut meliputi harapan, pemikiran dan keputusan mengenai apa yang seharusnya dikatakan dan dilakukan dalam berinteraksi, persepsi yang tepat mengenai apa yang diharapkan oleh orang lain atau respon apa yang paling disukai orang lain mengenai pendapatnya. Cartledge & Milburn (1995) mengemukakan keterampilan sosial merupakan perilaku yang dipelajari, diterima dan dapat membuat seseorang berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang dapat memunculkan reaksi positif dari orang lain serta dapat menghindari reaksi negatif dari orang lain.
Dari dua  definisi diatas   maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial adalah suatu kemampuan yang dipelajari  dan dimiliki oleh individu untuk dapat memunculkan perilaku yang specifik dalam situasi tertentu dengan tujuan agar dapat mencapai dan melakukan tujuan interaksi sosial dengan baik sehingga dapat menjadi kompeten secara sosial.
Keterampilan sosial menggambarkan kemampuan spesifik untuk membentuk kemampuan sosial. Seseorang yang kurang memiliki  keterampilan sosial ditandai dengan rendahnya kualitas dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki kecemasan yang tinggi  dan kurang mempunyai pengalaman sosial sehingga sering merasa kesepian, tidak bahagia, menarik diri dan agresif. Kesulitan dalam keterampilan sosial dianggap wajar apabila masih dalam taraf  normal, tetapi apabila kesulitan ini tidak ditangani dengan baik, maka hal ini akan berpengaruh pada tingkat perkembangannya yang selanjutnya dan semakin lama masalah sosialisasi ini akan dapat menimbulkan stres.
Keterampilan sosial anak merupakan cara anak dalam melakukan interaksi, baik dalam hal bertingkah laku maupun dalam hal berkomunikasi dengan orang lain. Anak akan baik perkembangan keterampilan sosialnya apabila pola asuhnya baik pula yang diberikan oleh orangtuanya. Namun kebanyakan para orang tua sering beranggapan bahwa keterampilan sosial anaknya tidaklah begitu penting untuk diperhatikan dalam kehidupannya. Karena si anak akan dapat belajar dengan sendirinya untuk berinteraksi secara baik dengan teman, saudara atau orang lain.
Keterampilan sosial merupakan bagian dari kompetensi sosial. Cavel (dalam Cardledge & Milburn,1995) menyebutkan bahwa kompetensi sosial terdiri dari tiga konstrak yaitu penyesuaian sosial, performansi sosial dan keterampilan sosial. Bagi seorang anak kompetensi sosial dan keterampilan sosial merupakan faktor yang penting untuk memulai dan memiliki hubungan sosial yang positif (Rubin, Bukowski & Parker,1998). Anak yang tidak memiliki keterampilan sosial, akan kesulitan dalam memulai dan menjalin hubungan yang positif dengan lingkungannya, bahkan boleh jadi akan ditolak atau diabaikan oleh lingkungannya.



2.2.2.       Faktor- Faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial
Keterampilan sosial bagi sebagian besar anak- anak berkembang  secara alami sesuai dengan pertumbuhan mereka. Pada umumnya anak-anak mempelajari keterampilan sosial tersebut dari interaksi sehari-hari mereka dengan orang lain. sebagai sebuah kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar, maka perkembangan keterampilan sosial anak tergantung pada berbagai faktor, yaitu kondisi anak  sendiri serta pengalaman interaksinya dengan lingkungan sebagai sarana dan media pembelajaran. secara lebih terinci, faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1.      Kondisi anak
Ada beberapa kondisi anak yang mempengaruhi tingkat keterampilan sosial anak, antara lain temperamen anak (Kagan & Bates dalam Rubin, Bukowski & Parker,1998), regulasi emosi (Rubin,Coplan, Fox & Calkins dalam Rubin, Bukowski & Parker,1998) serta kemampuan sosial kognitif (Robinson &Garber, 1995). Penelitian memperlihatkan bahwa anak-anak yang memiliki temperamen  sulit dan cenderung mudah terluka secara psikis, biasanya akan takut dan malu-malu dalam menghadapi stimulus sosial yang baru, sedangkan anak-anak yang ramah dan terbuka lebih responsive terhadap lingkungan sosial(Kagan & Bates dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998). Selain itu anak-anak yang memiliki temperamen sulit ini cenderung lebih agresif dan impulsive sehingga sering ditolak oleh teman sebaya (Kagan & Bates dalam Rubin, Bukowski & Parker,1998). Kedua kondisi ini menyebabkan kesempatan mereka untuk berinteraksi dengan teman sebaya berkurang, padahal interaksi merupakan media yang penting dalam proses belajar keterampilan sosial.
Kemampuan mengatur emosi juga mempengaruhi keterampilan sosial anak. Penelitian yang dilakukan oleh (Rubin,Coplan, Fox & Calkins dalam Rubin, Bukowski & Parker,1998) membuktikan bahwa pengaturan emosi sangat membantu, baik bagi anak yang mampu bersosialisasi dengan lancar  maupun yang tidak. Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. anak yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka walaupun jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak anak yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi cenderung akan berperilku agresif dan merusak. Adapun anak-anak yang tidak mampu bersosialisasi dan mengontol emosi, cenderung lebih pencemas dan kurang berani bereksplorasi.
Perkembangan keterampilan sosial anak juga dipengaruhi oleh kemampuan sosial kognitifnya yaitu keterampilan memproses  semua informasi yang ada dalam proses sosial. Kemampuan ini antara lain kemampuan mengenali isyarat sosial, menginterprestasi isyarat sosial dengan cara yang tepat dan bermakna, mengevaluasi konsekuensi dari beberapa kemungkinan respon serta memilih respon yang akan dilakukan (Dodge, dkk dalam Robinson & Garber,1995). Kemampuan sosial kognitif lainnya yang juga penting adalah kemampuan melihat dari perspektif orang lain (perspektif taking) dan kemampuan empati (Robinson & Garber, 1995). Semakin baik keterampilan memproses informasi sosial anak, maka akan semakin mudah baginya untuk membentuk hubungan suportif dengan orang lain.yang berarti akan menambah luas jaringan sosial sebagai media pengembangan keterampilan sosialnya (Robinson & Garber, 1995)
2.        Interaksi anak dengan lingkungan
Lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan sosial adalah lingkungan keluarga dan lingkungan diluar keluarga, misalnya lingkungan sekolah. Sekolah adalah tempat yang kritis untuk meningkatkan tidak hanya aspek kognitif (seperti belajar), tetapi juga aspek perilaku dan emosi (Warwick  dalam Mulder, 2008). Misalnya di ruangan kelas yang mempunyai banyak permainan, game atau peralatan yang menciptakan sebuah lingkungan yang mendorong interaksi sosial dan memberikan kesempatan lebih pada anak untuk mempraktekkan keterampilan sosial anak.
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dalam kehidupan seorang anak untuk tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun mental (Gerungan, 2004). Lingkungan keluarga yang tidak harmonis (perselisihan dan perceraian), dapat memberikan dampak yang besar pada perilaku anak secara tidak langsung (Belsky, 1984,Hetherington et al,1989 , Snyder, 1991 dalam Najman, 2000).
Secara umum, pola interaksi anak dan orang tua serta kualitas hubungan pertemanan dan penerimaan anak dalam kelompok merupakan dua faktor eksternal atau lingkungan yang cukup berpengaruh bagi perkembangan sosial anak. Anak banyak belajar mengembangkan keterampilan sosial baik dengan proses modeling (peniruan) terhadap perilaku orang tua dan teman sebaya, ataupun melalui penerimaan penghargaan saat melakukan sesuatu yang tepat dan penerimaan hukuman saat melakukan sesuatu yang tidak pantas menurut orang tua dan teman sebaya.
Keterampilan sosial anak terutama dipengaruhi oleh proses sosialisasinya dengan orang tua yang mulai terjalin sejak awal kelahiran. Proses sosialisasi yang berawal sejak bayi ini, menjadi lebih disadari dan sistematis seiring dengan bertambahnya kemampuan anak dalam keterampilan motorik dan penggunaan bahasa. Pelukan yang diberikan oleh orang tua dan pujian yang mereka terima saat memperoleh kemampuan baru atau larangan saat melakukan sesuatu merupakan beberapa contoh sosialisasi yang secara sistematis mempengaruhi anak. Nilai, kepercayaan, keterampilan, sikap dan motif yang disosialisasikan oleh orang tua ini kemudian diinternalisasikan oleh anak dan menjadi dasar perilakunya dalam kehidupan(Kuczynski, Marshall & schell, 1997 dalam Desvi, 2005).
Sebagai figure yang paling dekat dengan anak, orang tua tidak hanya berperan dalam mengajarkan keterampilan sosial secara langsung pada anak, tetapi juga berperan dalam hubungan dengan lingkungan terutama dengan teman sebaya.
3.        Usia
Anak pada usia pra sekolah memiliki sifat egosentris yang tinggi dan masih sulit untuk memahami orang lain, akan tetapi ketika anak mulai memasuki usia akhir kanak-kanak dan mulai bersekolah maka sikap egosentris anak sudah mulai berkurang, anak mulai berpusat pada kebutuhan orang lain serta mulai mempertimbangkan orang lain (Graha, 2007). Pada usia sekolah anak semakin sering berinteraksi dengan anak-anak lain, yang dapat meningkatkan kemampuan serta pemahaman anak akan pentingnya untuk memiliki keterampilan yang dapat membantu dalam menjalin hubungan dengan orang lain serta teman sebayanya.
Perkembangan kognitif anak juga berpengaruh terhadap keterampilan sosial. Perkembangan kognitif anak akan berkembang seiring dengan pertambahan usia seseorang. Menurut Hurlock (1993) kognisi sosial anak tentang teman sebaya sangat penting untuk memahami bagaimana hubungan dengan teman sebaya. Anak-anak yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, dianggap tidak memiliki ketampilan sosial yang memadai untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain.
4.        Jenis kelamin
Anak perempuan dan anak laki-laki memiliki perbedaan pola interaksi,  hal ini mempengaruhi pula pada keterampilan sosial anak. Dua anak yang usianya sama tetapi berjenis kelamin berbeda, maka keterampilan sosialnya pada aspek aspek tertentu juga berbeda. Pada masa kanak-kanak anak laki-laki lebih menyukai permainan yang banyak melibatkan aktivitas fisik dalam berinteraksi dengan sosial. Sedangkan anak perempuan lebih menyukai permainan yang lebih bersifat pasif dan menetap. Perbedaan gender tersebut dipengaruhi oleh dampak biologis, namun berdasarkan beberapa bukti yang diperoleh, belajar sosial mempunyai pengaruh yang lebih tinggi. Anak perempuan mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya penarikan sosial (menarik diri) dibandingkan dengan anak laki-laki pada ibu yang otoriter (Nelson et al, 2006).
5.        Keadaan sosial ekonomi
Kondisi perekonomian orang tua (keluarga) akan berdampak pada sikap interaksi sosial anak. Secara umum dapat tergambarkan bahwa anak-anak yang memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik maka anak akan memiliki kepercayaan yang baik pula, seperti yang dikemukakan oleh Zakiah Darajat (1987:87) Anak-anak orang kaya memiliki berbagai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan sosialnya pada berbagai kesempatan dan kondisi lingkungan yang berbeda. Payne (dalam Mulder, 2008) menyatakan anak yang tinggal dalam keluarga dengan sumber penghasilan ekonomi sedikit cenderung kurang mempunyai kompetensi sosial pada usia muda karena kesempatan sosial jarang karena terbatasnya waktu dan uang.
6.        Pendidikan orang tua
Pendidikan orang tua mempengaruhi bagaimana anak bersikap dengan lingkungannya. Ketidaktahuan orang tua akan kebutuhan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya tentu membatasi anak untuk dapat lebih leluasa melakukan eksplorasi sosial diluar lingkungan rumahnya. Pendidikan orang tua yang tinggi atau pengetahuan yang luas maka orang tua memahami bagaimana harus memposisikan diri dalam tahapan perkembangan anak. orang tua yang memiliki pengetahuan dan pendidikan yang baik maka akan mendukung anaknya agar bisa berinteraksi sosial yang baik.
7.        Jumlah saudara
Menurut Downey and Condrom (dalam Mulder, 2008) menyatakan bahwa keterampilan sosial dan interpersonal anak mempunyai pengaruh positif melalui interaksi dengan saudara kandung dirumah dan keterampilan itu menjadi lebih berguna saat  berada diluar rumah. Hasil penelitannya menunjukkan bahwa para guru menilai siswa yang mempunyai satu saudara kandung mempunyai keterampilan interpersonal lebih baik dibandingkan yang tidak mempunyai saudara kandung.
8.        Struktur keluarga
Hasil penelitian yang dilakukan Hastuti (2009) membandingkan antara keluarga besar dan keluarga inti terhadap perkembangan psikososial anak, dimana hasil uji statistik menyatakan besarnya keluarga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap perkembangan psikososial anak. Davis dan Forsythe (1984) dalam Mu’tadzin (2002) Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis atau broken home dimana anak  tidak mendapatkan kepuasan psikis yang cukup maka anak akan sulit mengembangkan keterampilan sosialnya.
9.        Pekerjaan
Hasil penelitian dari Liebling (2004) yang menyatakan bahwa pada kondisi ibu bekerja diluar rumah mengakibatkan waktu bertemu dengan anak akan menjadi berkurang, sehingga ibu tidak bisa maksimal dalam mendidik dan membimbing anak, sehingga akan berpengaruh terhadap keterampilan sosial anak.

2.2.3.      Elemen-elemen keterampilan sosial anak
Menurut Caldarella dan Merrel (1997) terdapat 5 elemen keterampilan sosial yaitu :
1.        Keterampilan yang berhubungan dengan teman sebaya (Peer Relationship Skills).
Keterampilan atau perilaku seorang anak yang dianggap positif oleh teman sebaya serta memiliki interaksi yang positif dengan teman sebaya. Dimensi ini ditunjukkan dengan beberapa ciri sebagai berikut : 1) memberikan pujian terhadap teman sebaya. 2) menawarkan bantuan atau pertolongan ketika dibutuhkan, 3) mengundang atau mengajak teman untuk bermain atau berinteraksi, 4) berpartisipasi dalam berdiskusi, berbicara dengan teman dalam waktu yang lama 5) membela hak teman dan membela teman yang dalam kesulitan, 6) dicari oleh teman untuk bergabung bersama dalam  aktivitas, menjadi seseorang yang disenangi oleh semua orang, 7) memiliki kemampuan dan keterampilan yang disukai oleh teman sebaya, berpartisipasi penuh dengan teman sebaya, 8) mampu mengawali atau bergabung dalam percakapan dengan teman sebaya, 9) peka terhadap perasaan teman (empati dan simpati), 10) memiliki keterampilan kepemimpinan yang baik, melaksanakan peran kepemimpinan dalam aktivitas bersama teman teman sebaya, 11) mudah untuk berteman dan  memiliki banyak teman, 12) memiliki selera humor yang baik dan dapat bercanda atau bergurau dengan teman.
2.   Keterampilan yang berhubungan dengan diri sendiri (self management skills).
Keterampilan atau perilaku yang merefleksikan seorang anak untuk dapat mengatur dirinya sendiri dalam  lingkungan sosial. Seorang anak yang mempunyai kemampuan ini akan mampu memperkirakan dampak perilakunya pada suatu situasi. Beberapa bentuk perilaku ini adalah 1) tetap bersikap tenang ketika ada masalah dan dapat mengontrol emosi ketika marah, 2) mengikuti peraturan-peraturan, menerima batasan-batasan yang diberikan, 3) melakukan kompromi secara tepat dengan orang lain ketika menghadapi konflik, 4) menerima kritikan dari orang lain dengan baik,  5) merespon gangguan dari teman dengan cara mengabaikan,  memberikan respon yang tepat terhadap gangguan, 6) bekerja sama dengan orang lain dalam berbagai situasi.
3.   Keterampilan yang berhubungan dengan kesuksesan akademik (academic skills).
Merupakan perilaku atau keterampilan sosial yang dapat mendukung prestasi belajar disekolah, misalnya mendengarkan dengan tenang saat guru menerangkan pelajaran, mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, melakukan apa yang diminta oleh guru, dan semua perilaku yang mengikuti aturan kelas. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa keterampilan sosial berhubungan dengan perilaku yang mendukung prestasi belajar disekolah. Bentuk-bentuk perilaku tersebut misalnya : 1) mengerjakan tugas secara mandiri, menunjukkan keterampilan untuk belajar secara mandiri. 2) mampu menyelesaikan tugas  individual. 3) mendengarkan dan melaksanakan petunjuk dari guru, 4) dapat bekerja sesuai dengan kapasitas yang dimiliki 5) memanfaatkan waktu luang dengan baik 6) mengatur diri pribadi dengan baik 7) bertanya atau meminta bantuan secara tepat,  8) mengabaikan gangguan dari teman ketika sedang bekerja atau belajar.

4.        Keterampilan yang berhubungan dengan kemampuan anak dalam memenuhi permintaan orang lain (Compliance skills).
Dimensi yang akan merefleksikan seorang anak atau remaja yang dapat memenuhi permintaan dari orang lain dengan sesuai. Dimensi ini ditunjukkan dengan karakteristik sebagai berikut : 1) mengikuti petunjuk atau instruksi 2) mematuhi atau mentaati peraturan 3) memanfaatkan waktu luang dengan baik 4) menggunakan mainan bersama 5) memberikan respon yang tepat terhadap kritik 6) menyelesaikan tugas 7) menempatkan mainan atau tugas pada tempat yang sesuai.
5.        Keterampilan interpersonal (Asertion skills).
Merupakan perilaku yang menyangkut keterampilan yang dipergunakan selama melakukan interaksi sosial. Perilaku ini disebut juga keterampilan menjalin persahabatan, misalnya memperkenalkan diri, menawarkan bantuan, dan memberikan atau menerima pujian. keterampilan ini kemungkinan berhubungan dengan usia dan jenis kelamin.
Dimensi yang dapat merefleksikan seorang anak atau remaja dapat dikatakan memiliki sikap mudah bergaul dan extrovet oleh orang lain.perilaku-perilaku yang termasuk didalamnya adalah : 1) mengawali percakapan 2) memperkenalkan diri 3)menerima atau memberikan pujian 4) mengundang teman untuk bermain 5) percaya diri 6) mempertanyakan peraturan yang tidak adil  7) bergabung dengan suatu aktivitas kelompok yang sedang berlangsung 8) tampil percaya diri dengan lawan jenis.
Kelima dimensi tersebut saling tumpang tindih ( Overlap), akan tetapi masing-masing dimensi keterampilan sosial tersebut saling terkait antara satu dengan yang lainnya sehingga tidak bisa dipisahkan.
2.2.4.      Pengukuran keterampilan sosial.
Menurut Cartledge & Milburn (1995) terdapat beberapa bentuk pengukuran keterampilan sosial yaitu pengukuran oleh orang dewasa, teman sebaya dan anak sendiri (self assessment). Pengukuran oleh orang dewasa dapat menggunakan ceklist, instrument yang terstandarisasi dan observasi secara langsung. Umumnya dilakukan oleh orang-orang yang dianggap paling mengenal dan mengetahui perilaku anak, misalnya oleh orang tua dan guru. Pengukuran dengan  teknik observasi dapat dilakukan pada situasi (lingkungan alami) ataupun pada kondisi yang sudah terkondisi.
Pengukuran oleh teman sebaya bertujuan untuk mengungkap perasaan atau  sikapseseorang terhadap teman. Teman sebaya diminta untuk mengidentifikasikan teman yang mereka sukai dan mendiskripsikan secara singkat. Sedangkan pengukuran yang dilakukan oleh anak sendiri adalah dengan melibatkan anak untuk mengukur kompetensi sendiri. Teknik yang sering digunakan antara lain: skala, ceklist (daftar tilik), teknik monitoring diri dan lain-lain.
2.3.      Masa Kanak-Kanak Akhir.
2.3.1.      Pengertian.
Masa kanak-kanak akhir (late childhood) adalah masa anak – anak yang berada pada periode perkembangan antara usia kira kira 6 sampai 11 tahun            (Santrock,1998). Hurlock (1993) menyebutkan bahwa masa kanak-kanak akhir antara laki-laki dan perempuan berbeda yaitu usia 6 sampai 13 tahun pada anak perempuan dan sampai usia 14 tahun pada anak laki-laki. Monks dan Haditono (2004) masa kanak-kanak akhir terjadi pada usia antara 6-12 tahun, masa tersebut merupakan tahap ke IV ( empat) atau disebut juga fase latensi.
Menurut Hurlock (1993) usia tersebut sesuai dengan periode “usia sekolah” dan perkembangan utama pada masa ini adalah sosialisasi sehingga disebut dengan usia kelompok. Pada masa ini prestasi sekolah lebih diutamakan dan pengendalian diri mereka lebih meningkat.
2.3.2.      Ciri  - ciri masa kanak-kanak akhir.
Masa kanak-kanak akhir disebut juga dengan masa sekolah dasar ,karena pada masa ini anak diharapkan banyak memperoleh pengetahuan dasar yang penting untuk keberhasilan masa dewasa. Selain itu masa kanak-kanak akhir juga dianggap sebagai masa yang menyulitkan bagi orang tua, karena pada masa ini anak semakin sulit menuruti perintah orang tuanya, anak lebih banyak mendapatkan pengaruh dari teman sebayanya dibandingkan dari orang tua dan gurunya (Hurlock, 1993).
Selain ciri-ciri tersebut juga terdapat karakteristik lain yang menjadi ciri khas dari masa kanak-kanak akhir yaitu pada perkembangan  fisik, perkembangan kognitif  dan perkembangan sosio emosional.
2.3.3.      Perkembangan sosial pada masa kanak-kanak akhir.
Seorang anak dilahirkan belum mempunyai kemampuan bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan tersebut diperoleh anak melalui berbagai kesempatan dalam bergaul dengan orang-orang dilingkungannya (orangtua, saudara teman sebaya atau orang dewasa lainnya). Menurut Yusuf (2006) Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial atau suatu proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi, meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi serta bekerja sama.
Perkembangan sosial dan kepribadian mulai dari usia pra sekolah sampai akhir masa sekolah ditandai oleh meluasnya lingkungan social. Anak semakin melepaskan diri dari keluarga dan semakin mendekatkan diri pada orang orang lain disamping anggota keluarga (Monks & Haditono, 2004). Perkembangan sosial anak dipengaruhi oleh lingkungn sosialnya (orang tua, anak, keluarga, teman sebaya dan orang dewasa lainnya). Apabila lingkungan tersebut memfasilitasi  atau memberikan peluang terhadap perkembangan anak secara positif maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang. Sebaliknya apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif maka anak akan menampilkan perilaku maladjustment, seperti bersifat menarik diri, senang mendominasi orang lain, egois, senang menyendiri, kurang memiliki perasaan tenggang rasa dan kurang mempedulikan norma dalam berperilaku (Yusuf, 2006)
Menurut Erikson dalam Graha (2007) krisis psikososial yang terjadi pada masa ini adalah “Industri versus rasa rendah diri”. Pada masa ini sikap egosentris anak mulai berkurang, mempunyai jiwa kompetitif, mulai berkomunikasi dengan teman-temannya, sehingga anak tidak bisa berdiam diri.  Di sisi lain banyak orang tua yang menginginkan anaknya bisa duduk diam, sopan dan juga tenang. Keadaan tersebut jika terjadi dalam waktu lama dapat mengakibatkan anak menjadi malas bersosialisasi, kehilangan kesempatan untuk mengembangkan rasa kompetensinya dilingkungan teman-temannya.
Sekolah merupakan sistem sosial kecil tempat anak mempelajari aturan moral, sosial, sikap, dan cara bergaul dengan orang lain. Sekolah memberikan jaringan kelompok teman sebaya kepada anak. Pengaruh sosialisasi sekolah dihasilkan dari teman sebaya disamping guru dan program sekolah. Menurut penelitian Barker & Wright (dalam Santrock, 1998) menyatakan bahwa anak menghabiskan (10%) waktunya dengan teman sebaya pada usia 2 tahun, (20%) pada usia 4 tahun, dan lebih dari (40%) pada usia 7 tahun sampai 11 tahun. Melakukan aktivitas olahraga beregu, (45%) pada anak laki-laki dan (26%) pada anak perempuan. Permainan umum, melakukan perjalanan dan bersosialisasi banyak dilakukan  oleh anak laki laki. Interaksi dengan teman sebaya lebih banyak dilakukan diluar rumah dengan kelompok teman yang mempunyai kesamaan jenis kelamin.
Menurut Hurlock (1993) Tugas perkembangan pada masa kanak-kanak akhir adalah 1) mempelajari  keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan umum, 2) membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai mahkluk yang sedang tumbuh, 3) Belajar menyesuaikan diri dengan teman seusianya,        4) mulai mengembangkan peran sosial yang sesuai dengan jenis kelaminnya,       5) mengembangkan keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung,    6) mengembangkan pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari,      7) mengembangkan hati nurani, moral dan tingkatan nilai,  8) mengembangkan sikap terhadap kelompok social,  dan 9) mencapai kebebasan pribadi.
Menurut Yusuf (2006) terdapat beberapa bentuk  perilaku anak dalam melakukan hubungan sosial dengan orang lain, yaitu: pembangkangan                  (negativism), agresi (aggression), berselisih atau bertengkar (quarreling), menggoda ( teasing),  persaingan (rivarly), kerjasama (cooperation), tingkah laku berkuasa (ascendant behavior), mementingkan diri sendiri (selfishness) dan simpati ( sympaty)
Pada penelitian ini hanya meneliti keterampilan sosial anak pada usia 5-6 tahun. Alasan tersebut didasarkan pada : 1) teori psikososial menurut Erikson (dalam Graha, 2007) yang menyatakan bahwa sikap egosentris pada masa ini sudah mulai berkurang dibandingkan pada masa kanak-kanak awal serta 40 % waktu anak pada usia ini dihabiskan dengan teman sebaya, 2) untuk mengetahui lebih dini  apakah anak tersebut terjadi gangguan pada perkembangan sosialnya,  sehingga masalah tersebut dapat teratasi lebih dini.
Pada masa ini, teman sebaya memiliki peran penting dalam proses sosialisasi anak. Proses sosialisasi pada masa ini lebih berkaitan dengan penerapan nilai yang dapat diterima oleh lingkungan sosial dalam suatu permainan (Hetherington & Parke, 1999). Teman sebaya merupakan sumber informasi bagi seorang anak untuk mengetahui nilai dan bagaimana bersikap baik dalam memainkan suatu permainan.sama seperti halnya proses sosialisasi oleh orang tua, proses sosialisasi dengan teman sebaya dilakukan melalui modeling dan reinforcement. Anak lain berfungsi sebagai social model yang akan ditiru oleh anak dan pengukuh atas perilaku-perilakunya.
Teman sebaya memainkan peranan penting dalam membantu anak mengembangkan self image dan self esteem, karena memberikan sebuah standart bagi seorang anak dalam menilai dirinya sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak menggunakan perbandingan sosial dengan kelompok teman sebaya. Proses membandingkan diri ini merupakan dasar pembentukan self image dan self esteem seorang anak (Hetherington & Parke, 1999). Bila anak merasa memiliki kemampuan yang sama atau lebih dibandingkan teman sebayanya, maka akan membentuk self image yang positif dan sebaliknya, bila anak berpikir bahwa kemampuannya dibawah teman-temannya , maka akan membentuk self image yang negatif.
Interaksi dengan teman sebaya memberikan petualangan yang kritis bagi seorang anak untuk mencapai kompetensi sosial yang penting. Juga berperan penting dalam mengembangkan self control dan kemampuan mereka untuk berpikir atau memodifikasi problem perilaku (Hetherington & Parke, 1999)
Pada masa ini, kognisi sosial anak berkembang dan mempengaruhi perilakunya. Kognisi ini berkaitan dengan bagaimana anak mengolah informasi yang berkaitan dengan lingkungan sosialnya. Pemrosesan informasi sosial secara tepat akan membantu anak dalam menentukan dan mencapau tujuan pribadi dan interpersonal, seperti bagaimana memulai dan memelihara suatu ikatan sosial. Tingkat kognisi  sosial ini akan mempengaruhi ketrampilan dan kompetensi yang akan berdampak pada penerimaan anak oleh teman sebaya (Santrock, 2002, Hetherington & Parke, 1999). Anak - anak yang memiliki ketrampilan sosial yang baik akan diterima oleh teman sebaya, sedangkan anak- anak yang ketrampilan sosialnya rendah  ada dua kemungkinan, ditolak atau diabaikan oleh teman sebaya. Penerimaan atau penolakan ini  berpengaruh pada anak, penelitian menunjukkan bahwa anak yang diterima akan mengembangkan sikap prososial dan mampu memelihara hubungan dengan teman sebaya, sedangkan anak yang ditolak cenderung mengembangkan sikap agresif dan anak yang diabaikan cenderung menarik diri dari interaksi sosial (Hetherington & Parke, 1999)
Menurut piaget, perkembangan kanak-kanak menengah dan akhir  berada dalam suatu transisi antara dua tahap yaitu tahap realisme moral atau heteronomous morality dan tahap moralitas berdasarkan hubungan timbal balik atau disebut juga autonomous morality(dalam Hetherington dan Parke, 1999; Santrock, 2002; Hurlock, 1993).
Dalam tahap realisme moral, anak melihat peraturan dari orang tua dan orang dewasa lainnya sebagai sesuatu yang tidak akan berubah sehingga mereka harus senantiasa mentaati tanpa perlu mempertanyakan. Mereka juga cenderung mentaati peraturan secara kaku dan menilai kebenaran atau kebaikan berdasarkan konsekuensi perilaku, bukan berdasarkan  maksud atau motivasi si pelaku. Pada tahap moralitas berdasarkan hubungan timbal balik, anak sudah menyadari bahwa peraturan merupakan kesepakatan sosial yang dapat berubah dan boleh dipertanyakan.  Anak juga sudah mampu melihat bahwa ia tidak perlu patuh pada keinginan orang lain dan bahwa pelanggaran peraturan tidak selalu merupakan kesalahan atau pasti akan mendapat hukuman. Dalam menilai perilaku orang lain, anak sudah mampu mempertimbangkan  perasaan dan melihat dari sudut pandang orang tersebut(dalam Hetherington dan Parke, 1999; Santrock, 2002; Hurlock, 1993).
Piaget berpendapat seraya berkembang, anak juga menjadi lebih canggih dalam berpikir tentang persoalan-persoalan  sosial. Piaget yakin bahwa peningkatan pemahaman sosial ini terjadi melalui interaksi anak dengan lingkungannya, terutama orang tua dan teman sebaya(Hurlock, 1993).



2 komentar:

  1. permisi kalau boleh tau , semua nya di ambil dari sumber apa ya
    terimakasih :)

    BalasHapus
  2. Bet365 casino bonus codes - JDKHub
    Bet365 casino 광양 출장안마 bonus codes Sign up today and receive a Welcome 통영 출장안마 Bonus up to 양주 출장샵 ₹50000 경상북도 출장샵 in 포천 출장안마 bet credits for the first

    BalasHapus