2.1.
Keterampilan Sosial
2.1.1.
Pengertian Keterampilan sosial
Terdapat berbagai macam
definisi mengenai keterampilan sosial. Salah satu definisi keterampilan sosial
yang diungkapkan oleh Libet dan Lewinston (dalam Cartledge & Milburn,1995)
bahwa keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk berperilaku seperti yang
diharapkan orang lain dan tidak melakukan apa yang tidak dikehendaki oleh orang
lain. Menurut Combs dan Slaby (dalam Cartledge & Milburn,1995) menjelaskan
bahwa keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang
lain dalam lingkungan sosial dengan cara-cara khusus yang dapat diterima oleh
lingkungan dan pada saat bersamaan dapat menguntungkan individu atau bersifat
saling menguntungkan atau menguntungkan orang lain.
Eisler dan Frederikson (dalam Cartledge & Milburn,1995) mendes-kripsikan keterampilan sosial sebagai
aspek-aspek yang bisa diamati (Observable
aspect) dan elemen – elemen kognitif yang tidak dapat diamati (Non Observable Cognitive element).
Elemen tersebut meliputi harapan, pemikiran dan keputusan mengenai apa yang
seharusnya dikatakan dan dilakukan dalam berinteraksi, persepsi yang tepat
mengenai apa yang diharapkan oleh orang lain atau respon apa yang paling
disukai orang lain mengenai pendapatnya. Cartledge & Milburn (1995)
mengemukakan keterampilan sosial merupakan perilaku yang dipelajari, diterima
dan dapat membuat seseorang berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang
dapat memunculkan reaksi positif dari orang lain serta dapat menghindari reaksi
negatif dari orang lain.
Dari dua definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan
sosial adalah suatu kemampuan yang dipelajari
dan dimiliki oleh individu untuk dapat memunculkan perilaku yang
specifik dalam situasi tertentu dengan tujuan agar dapat mencapai dan melakukan
tujuan interaksi sosial dengan baik sehingga dapat menjadi kompeten secara
sosial.
Keterampilan sosial
menggambarkan kemampuan spesifik untuk membentuk kemampuan sosial. Seseorang
yang kurang memiliki keterampilan sosial
ditandai dengan rendahnya kualitas dalam berinteraksi dengan orang lain,
memiliki kecemasan yang tinggi dan
kurang mempunyai pengalaman sosial sehingga sering merasa kesepian, tidak
bahagia, menarik diri dan agresif. Kesulitan dalam keterampilan sosial dianggap
wajar apabila masih dalam taraf normal,
tetapi apabila kesulitan ini tidak ditangani dengan baik, maka hal ini akan
berpengaruh pada tingkat perkembangannya yang selanjutnya dan semakin lama masalah
sosialisasi ini akan dapat menimbulkan stres.
Keterampilan sosial
anak merupakan cara anak dalam melakukan interaksi, baik dalam hal bertingkah
laku maupun dalam hal berkomunikasi dengan orang lain. Anak akan baik
perkembangan keterampilan sosialnya apabila pola asuhnya baik pula yang diberikan
oleh orangtuanya. Namun kebanyakan para orang tua sering beranggapan bahwa
keterampilan sosial anaknya tidaklah begitu penting untuk diperhatikan dalam
kehidupannya. Karena si anak akan dapat belajar dengan sendirinya untuk
berinteraksi secara baik dengan teman, saudara atau orang lain.
Keterampilan sosial
merupakan bagian dari kompetensi sosial. Cavel (dalam Cardledge &
Milburn,1995) menyebutkan bahwa kompetensi sosial terdiri dari tiga konstrak
yaitu penyesuaian sosial, performansi sosial dan keterampilan sosial. Bagi
seorang anak kompetensi sosial dan keterampilan sosial merupakan faktor yang
penting untuk memulai dan memiliki hubungan sosial yang positif (Rubin,
Bukowski & Parker,1998). Anak yang tidak memiliki keterampilan sosial, akan
kesulitan dalam memulai dan menjalin hubungan yang positif dengan
lingkungannya, bahkan boleh jadi akan ditolak atau diabaikan oleh
lingkungannya.
2.2.2.
Faktor- Faktor yang mempengaruhi keterampilan
sosial
Keterampilan sosial
bagi sebagian besar anak- anak berkembang
secara alami sesuai dengan pertumbuhan mereka. Pada umumnya anak-anak
mempelajari keterampilan sosial tersebut dari interaksi sehari-hari mereka
dengan orang lain. sebagai sebuah kemampuan yang diperoleh melalui proses
belajar, maka perkembangan keterampilan sosial anak tergantung pada berbagai
faktor, yaitu kondisi anak sendiri serta
pengalaman interaksinya dengan lingkungan sebagai sarana dan media
pembelajaran. secara lebih terinci, faktor-faktor
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Kondisi anak
Ada beberapa kondisi
anak yang mempengaruhi tingkat keterampilan sosial anak, antara lain temperamen
anak (Kagan & Bates dalam Rubin, Bukowski & Parker,1998), regulasi
emosi (Rubin,Coplan, Fox & Calkins dalam Rubin, Bukowski & Parker,1998)
serta kemampuan sosial kognitif (Robinson &Garber, 1995). Penelitian
memperlihatkan bahwa anak-anak yang memiliki temperamen sulit dan cenderung mudah terluka secara
psikis, biasanya akan takut dan malu-malu dalam menghadapi stimulus sosial yang
baru, sedangkan anak-anak yang ramah dan terbuka lebih responsive terhadap
lingkungan sosial(Kagan & Bates dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998). Selain itu anak-anak yang
memiliki temperamen sulit ini cenderung lebih agresif dan impulsive sehingga
sering ditolak oleh teman sebaya (Kagan & Bates dalam Rubin, Bukowski &
Parker,1998). Kedua kondisi ini menyebabkan kesempatan mereka untuk
berinteraksi dengan teman sebaya berkurang, padahal interaksi merupakan media
yang penting dalam proses belajar keterampilan sosial.
Kemampuan mengatur
emosi juga mempengaruhi keterampilan sosial anak. Penelitian yang dilakukan
oleh (Rubin,Coplan, Fox & Calkins dalam Rubin, Bukowski & Parker,1998)
membuktikan bahwa pengaturan emosi sangat membantu, baik bagi anak yang mampu
bersosialisasi dengan lancar maupun yang
tidak. Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki
keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. anak
yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka walaupun
jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara konstruktif
dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak anak yang mampu
bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi cenderung akan berperilku
agresif dan merusak. Adapun anak-anak yang tidak mampu bersosialisasi dan
mengontol emosi, cenderung lebih pencemas dan kurang berani bereksplorasi.
Perkembangan
keterampilan sosial anak juga dipengaruhi oleh kemampuan sosial kognitifnya
yaitu keterampilan memproses semua
informasi yang ada dalam proses sosial. Kemampuan ini antara lain kemampuan
mengenali isyarat sosial, menginterprestasi isyarat sosial dengan cara yang
tepat dan bermakna, mengevaluasi konsekuensi dari beberapa kemungkinan respon
serta memilih respon yang akan dilakukan (Dodge, dkk dalam Robinson &
Garber,1995). Kemampuan sosial kognitif lainnya yang juga penting adalah
kemampuan melihat dari perspektif orang lain (perspektif taking) dan kemampuan empati (Robinson & Garber,
1995). Semakin baik keterampilan memproses informasi sosial anak, maka akan
semakin mudah baginya untuk membentuk hubungan suportif dengan orang lain.yang
berarti akan menambah luas jaringan sosial sebagai media pengembangan
keterampilan sosialnya (Robinson & Garber, 1995)
2.
Interaksi anak
dengan lingkungan
Lingkungan yang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan sosial adalah lingkungan
keluarga dan lingkungan diluar keluarga, misalnya lingkungan sekolah. Sekolah
adalah tempat yang kritis untuk meningkatkan tidak hanya aspek kognitif
(seperti belajar), tetapi juga aspek perilaku dan emosi (Warwick dalam Mulder, 2008). Misalnya di ruangan
kelas yang mempunyai banyak permainan, game atau peralatan yang menciptakan
sebuah lingkungan yang mendorong interaksi sosial dan memberikan kesempatan
lebih pada anak untuk mempraktekkan keterampilan sosial anak.
Keluarga merupakan
lingkungan sosial pertama dalam kehidupan seorang anak untuk tumbuh dan
berkembang baik secara fisik maupun mental (Gerungan, 2004). Lingkungan
keluarga yang tidak harmonis (perselisihan dan perceraian), dapat memberikan dampak yang besar
pada perilaku anak secara tidak langsung (Belsky, 1984,Hetherington et al,1989 , Snyder, 1991 dalam Najman,
2000).
Secara umum, pola
interaksi anak dan orang tua serta kualitas hubungan pertemanan dan penerimaan
anak dalam kelompok merupakan dua faktor eksternal atau lingkungan yang cukup
berpengaruh bagi perkembangan sosial anak. Anak banyak belajar mengembangkan
keterampilan sosial baik dengan proses modeling (peniruan) terhadap perilaku
orang tua dan teman sebaya, ataupun melalui penerimaan penghargaan saat
melakukan sesuatu yang tepat dan penerimaan hukuman saat melakukan sesuatu yang
tidak pantas menurut orang tua dan teman sebaya.
Keterampilan sosial
anak terutama dipengaruhi oleh proses sosialisasinya dengan orang tua yang
mulai terjalin sejak awal kelahiran. Proses sosialisasi yang berawal sejak bayi
ini, menjadi lebih disadari dan sistematis seiring dengan bertambahnya
kemampuan anak dalam keterampilan motorik dan penggunaan bahasa. Pelukan yang
diberikan oleh orang tua dan pujian yang mereka terima saat memperoleh
kemampuan baru atau larangan saat melakukan sesuatu merupakan beberapa contoh
sosialisasi yang secara sistematis mempengaruhi anak. Nilai, kepercayaan,
keterampilan, sikap dan motif yang disosialisasikan oleh orang tua ini kemudian
diinternalisasikan oleh anak dan menjadi dasar perilakunya dalam
kehidupan(Kuczynski, Marshall & schell, 1997 dalam Desvi, 2005).
Sebagai figure yang
paling dekat dengan anak, orang tua tidak hanya berperan dalam mengajarkan
keterampilan sosial secara langsung pada anak, tetapi juga berperan dalam
hubungan dengan lingkungan terutama dengan teman sebaya.
3.
Usia
Anak pada usia pra
sekolah memiliki sifat egosentris yang tinggi dan masih sulit untuk memahami
orang lain, akan tetapi ketika anak mulai memasuki usia akhir kanak-kanak dan
mulai bersekolah maka sikap egosentris anak sudah mulai berkurang, anak mulai
berpusat pada kebutuhan orang lain serta mulai mempertimbangkan orang lain
(Graha, 2007). Pada usia sekolah anak semakin sering berinteraksi dengan
anak-anak lain, yang dapat meningkatkan kemampuan serta pemahaman anak akan
pentingnya untuk memiliki keterampilan yang dapat membantu dalam menjalin
hubungan dengan orang lain serta teman sebayanya.
Perkembangan kognitif
anak juga berpengaruh terhadap keterampilan sosial. Perkembangan kognitif anak
akan berkembang seiring dengan pertambahan usia seseorang. Menurut Hurlock
(1993) kognisi sosial anak tentang teman sebaya sangat penting untuk memahami
bagaimana hubungan dengan teman sebaya. Anak-anak yang tidak dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan sosialnya, dianggap tidak memiliki ketampilan sosial
yang memadai untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain.
4.
Jenis kelamin
Anak perempuan dan anak
laki-laki memiliki perbedaan pola interaksi, hal ini mempengaruhi pula pada keterampilan
sosial anak. Dua
anak yang usianya sama tetapi berjenis kelamin berbeda, maka keterampilan sosialnya pada aspek
aspek tertentu juga berbeda. Pada masa kanak-kanak anak laki-laki lebih
menyukai permainan yang banyak melibatkan aktivitas fisik dalam berinteraksi
dengan sosial. Sedangkan anak perempuan lebih menyukai permainan yang lebih
bersifat pasif dan menetap. Perbedaan gender tersebut dipengaruhi oleh dampak
biologis, namun
berdasarkan beberapa bukti yang diperoleh, belajar sosial mempunyai pengaruh
yang lebih tinggi. Anak perempuan mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadinya penarikan sosial (menarik diri) dibandingkan dengan anak laki-laki
pada ibu yang otoriter (Nelson et al,
2006).
5.
Keadaan sosial
ekonomi
Kondisi perekonomian
orang tua (keluarga) akan berdampak pada sikap interaksi sosial anak. Secara
umum dapat tergambarkan bahwa anak-anak yang memiliki kondisi sosial ekonomi
lebih baik maka anak akan memiliki kepercayaan yang baik pula, seperti yang
dikemukakan oleh Zakiah Darajat (1987:87) Anak-anak orang kaya memiliki
berbagai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan sosialnya pada berbagai
kesempatan dan kondisi lingkungan yang berbeda. Payne (dalam Mulder, 2008)
menyatakan anak yang tinggal dalam keluarga dengan sumber penghasilan ekonomi
sedikit cenderung kurang mempunyai kompetensi sosial pada usia muda karena
kesempatan sosial jarang karena terbatasnya waktu dan uang.
6.
Pendidikan orang
tua
Pendidikan orang tua
mempengaruhi bagaimana anak bersikap dengan lingkungannya. Ketidaktahuan orang
tua akan kebutuhan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya tentu
membatasi anak untuk dapat lebih leluasa melakukan eksplorasi sosial diluar
lingkungan rumahnya. Pendidikan orang tua yang tinggi atau pengetahuan yang
luas maka orang tua memahami bagaimana harus memposisikan diri dalam tahapan
perkembangan anak. orang tua yang memiliki pengetahuan dan pendidikan yang baik
maka akan mendukung anaknya agar bisa berinteraksi sosial yang baik.
7.
Jumlah saudara
Menurut Downey and
Condrom (dalam Mulder, 2008)
menyatakan bahwa keterampilan sosial dan interpersonal anak mempunyai pengaruh
positif melalui interaksi dengan saudara kandung dirumah dan keterampilan itu
menjadi lebih berguna saat berada diluar
rumah. Hasil penelitannya menunjukkan bahwa para guru menilai siswa yang
mempunyai satu saudara kandung mempunyai keterampilan interpersonal lebih baik
dibandingkan yang tidak mempunyai saudara kandung.
8.
Struktur keluarga
Hasil penelitian yang dilakukan Hastuti (2009)
membandingkan antara keluarga besar dan keluarga inti terhadap perkembangan
psikososial anak, dimana hasil uji statistik menyatakan besarnya keluarga tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap perkembangan psikososial anak. Davis dan Forsythe
(1984) dalam Mu’tadzin (2002) Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi
anak dalam mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam
keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan.
Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis atau broken
home dimana anak tidak mendapatkan kepuasan psikis yang cukup maka
anak akan sulit mengembangkan keterampilan sosialnya.
9.
Pekerjaan
Hasil penelitian dari Liebling (2004) yang menyatakan bahwa pada kondisi
ibu bekerja diluar rumah mengakibatkan waktu bertemu dengan anak akan menjadi
berkurang, sehingga ibu tidak bisa maksimal dalam mendidik dan membimbing anak,
sehingga akan berpengaruh terhadap keterampilan sosial anak.
2.2.3.
Elemen-elemen keterampilan
sosial anak
Menurut Caldarella dan Merrel (1997)
terdapat 5 elemen keterampilan sosial yaitu :
1.
Keterampilan
yang berhubungan dengan teman sebaya (Peer Relationship Skills).
Keterampilan atau
perilaku seorang anak yang dianggap positif oleh teman sebaya serta memiliki
interaksi yang positif dengan teman sebaya. Dimensi ini ditunjukkan dengan
beberapa ciri sebagai berikut : 1) memberikan pujian terhadap teman sebaya. 2)
menawarkan bantuan atau pertolongan ketika dibutuhkan, 3) mengundang atau
mengajak teman untuk bermain atau berinteraksi, 4) berpartisipasi dalam
berdiskusi, berbicara dengan teman dalam waktu yang lama 5) membela hak teman
dan membela teman yang dalam kesulitan, 6) dicari oleh teman untuk bergabung
bersama dalam aktivitas, menjadi
seseorang yang disenangi oleh semua orang, 7) memiliki kemampuan dan
keterampilan yang disukai oleh teman sebaya, berpartisipasi penuh dengan teman
sebaya, 8) mampu mengawali atau bergabung dalam percakapan dengan teman sebaya,
9) peka terhadap perasaan teman (empati dan simpati), 10) memiliki keterampilan
kepemimpinan yang baik, melaksanakan peran kepemimpinan dalam aktivitas bersama
teman teman sebaya, 11) mudah untuk berteman dan memiliki banyak teman, 12) memiliki selera
humor yang baik dan dapat bercanda atau bergurau dengan teman.
2.
Keterampilan
yang berhubungan dengan diri sendiri (self
management skills).
Keterampilan atau perilaku yang
merefleksikan seorang anak untuk dapat mengatur dirinya sendiri dalam lingkungan sosial. Seorang anak yang
mempunyai kemampuan ini akan mampu memperkirakan dampak perilakunya pada suatu
situasi. Beberapa bentuk perilaku ini adalah 1) tetap bersikap tenang ketika
ada masalah dan dapat mengontrol emosi ketika marah, 2) mengikuti
peraturan-peraturan, menerima
batasan-batasan yang diberikan,
3) melakukan kompromi secara tepat dengan orang lain ketika menghadapi konflik,
4) menerima kritikan dari orang lain dengan baik, 5) merespon gangguan dari teman dengan cara
mengabaikan, memberikan respon yang
tepat terhadap gangguan, 6) bekerja sama dengan orang lain dalam berbagai
situasi.
3.
Keterampilan
yang berhubungan dengan kesuksesan akademik (academic skills).
Merupakan perilaku atau keterampilan sosial yang
dapat mendukung prestasi belajar disekolah, misalnya mendengarkan dengan tenang
saat guru menerangkan pelajaran, mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik,
melakukan apa yang diminta oleh guru, dan semua perilaku yang mengikuti aturan
kelas. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa keterampilan sosial berhubungan
dengan perilaku yang mendukung prestasi belajar disekolah. Bentuk-bentuk
perilaku tersebut misalnya : 1) mengerjakan tugas secara mandiri, menunjukkan
keterampilan untuk belajar secara mandiri. 2) mampu menyelesaikan tugas
individual. 3) mendengarkan dan melaksanakan petunjuk dari guru, 4)
dapat bekerja sesuai dengan kapasitas yang dimiliki 5) memanfaatkan waktu luang
dengan baik 6) mengatur diri pribadi dengan baik 7) bertanya atau meminta
bantuan secara tepat, 8) mengabaikan
gangguan dari teman ketika sedang bekerja atau belajar.
4.
Keterampilan
yang berhubungan dengan kemampuan anak dalam memenuhi permintaan orang lain (Compliance skills).
Dimensi yang akan
merefleksikan seorang anak atau remaja yang dapat memenuhi permintaan dari
orang lain dengan sesuai. Dimensi ini ditunjukkan dengan karakteristik sebagai
berikut : 1) mengikuti petunjuk atau instruksi 2) mematuhi atau mentaati
peraturan 3) memanfaatkan waktu luang dengan baik 4) menggunakan mainan bersama
5) memberikan respon yang tepat terhadap kritik 6) menyelesaikan tugas 7)
menempatkan mainan atau tugas pada tempat yang sesuai.
5.
Keterampilan
interpersonal (Asertion skills).
Merupakan perilaku yang
menyangkut keterampilan yang dipergunakan selama melakukan interaksi sosial.
Perilaku ini disebut juga keterampilan menjalin persahabatan, misalnya
memperkenalkan diri, menawarkan bantuan, dan memberikan atau menerima pujian.
keterampilan ini kemungkinan berhubungan dengan usia dan jenis kelamin.
Dimensi yang dapat
merefleksikan seorang anak atau remaja dapat dikatakan memiliki sikap mudah
bergaul dan extrovet oleh orang lain.perilaku-perilaku yang termasuk didalamnya
adalah : 1) mengawali percakapan 2) memperkenalkan diri 3)menerima atau
memberikan pujian 4) mengundang teman untuk bermain 5) percaya diri 6)
mempertanyakan peraturan yang tidak adil
7) bergabung dengan suatu aktivitas kelompok yang sedang berlangsung 8)
tampil percaya diri dengan lawan jenis.
Kelima dimensi tersebut
saling tumpang tindih ( Overlap),
akan tetapi masing-masing dimensi keterampilan sosial tersebut saling terkait
antara satu dengan yang lainnya sehingga tidak bisa dipisahkan.
2.2.4.
Pengukuran keterampilan
sosial.
Menurut Cartledge &
Milburn (1995) terdapat beberapa bentuk pengukuran keterampilan sosial yaitu
pengukuran oleh orang dewasa, teman sebaya dan anak sendiri (self assessment).
Pengukuran oleh orang dewasa dapat menggunakan ceklist, instrument yang
terstandarisasi dan observasi secara langsung. Umumnya dilakukan oleh
orang-orang yang dianggap paling mengenal dan mengetahui perilaku anak,
misalnya oleh orang tua dan guru. Pengukuran dengan teknik observasi dapat dilakukan pada situasi
(lingkungan alami) ataupun pada kondisi yang sudah terkondisi.
Pengukuran oleh teman
sebaya bertujuan untuk mengungkap perasaan atau
sikapseseorang terhadap teman. Teman sebaya diminta untuk
mengidentifikasikan teman yang mereka sukai dan mendiskripsikan secara singkat.
Sedangkan pengukuran yang dilakukan oleh anak sendiri adalah dengan melibatkan
anak untuk mengukur kompetensi sendiri. Teknik yang sering digunakan antara
lain: skala, ceklist
(daftar tilik), teknik monitoring diri dan lain-lain.
2.3. Masa Kanak-Kanak Akhir.
2.3.1.
Pengertian.
Masa kanak-kanak akhir
(late childhood) adalah masa anak – anak yang berada pada periode perkembangan
antara usia kira kira 6 sampai 11 tahun (Santrock,1998). Hurlock (1993)
menyebutkan bahwa masa kanak-kanak akhir antara laki-laki dan perempuan berbeda
yaitu usia 6 sampai 13 tahun pada anak perempuan dan sampai usia 14 tahun pada
anak laki-laki. Monks dan Haditono (2004) masa kanak-kanak akhir terjadi pada
usia antara 6-12 tahun, masa tersebut merupakan tahap ke IV ( empat) atau
disebut juga fase latensi.
Menurut Hurlock (1993) usia tersebut
sesuai dengan periode “usia
sekolah” dan perkembangan utama pada masa ini adalah sosialisasi sehingga
disebut dengan usia kelompok. Pada
masa ini prestasi sekolah lebih diutamakan dan pengendalian diri mereka lebih
meningkat.
2.3.2.
Ciri - ciri masa kanak-kanak akhir.
Masa kanak-kanak akhir disebut juga
dengan masa sekolah dasar ,karena pada masa ini anak diharapkan banyak
memperoleh pengetahuan dasar yang penting untuk keberhasilan masa dewasa. Selain
itu masa kanak-kanak akhir juga dianggap sebagai masa yang menyulitkan bagi
orang tua, karena
pada masa ini anak semakin sulit menuruti perintah orang tuanya, anak lebih
banyak mendapatkan pengaruh dari teman sebayanya dibandingkan dari orang tua
dan gurunya (Hurlock, 1993).
Selain ciri-ciri
tersebut juga terdapat karakteristik lain yang menjadi ciri khas dari masa
kanak-kanak akhir yaitu pada perkembangan
fisik, perkembangan kognitif dan
perkembangan sosio emosional.
2.3.3.
Perkembangan
sosial pada masa kanak-kanak akhir.
Seorang anak dilahirkan
belum mempunyai kemampuan bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak
harus belajar menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan tersebut diperoleh
anak melalui berbagai kesempatan dalam bergaul dengan orang-orang
dilingkungannya (orangtua, saudara teman sebaya atau orang dewasa
lainnya). Menurut
Yusuf (2006) Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan
sosial atau suatu proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma
kelompok, moral dan tradisi, meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling
berkomunikasi serta bekerja sama.
Perkembangan sosial dan
kepribadian mulai dari usia pra sekolah sampai akhir masa sekolah ditandai oleh
meluasnya lingkungan social.
Anak
semakin melepaskan diri dari keluarga dan semakin mendekatkan diri pada orang
orang lain disamping anggota keluarga (Monks & Haditono, 2004). Perkembangan sosial anak
dipengaruhi oleh lingkungn sosialnya (orang tua, anak, keluarga, teman sebaya
dan orang dewasa lainnya). Apabila lingkungan tersebut memfasilitasi atau memberikan peluang terhadap perkembangan
anak secara positif maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara
matang. Sebaliknya apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif maka anak akan
menampilkan perilaku maladjustment, seperti
bersifat menarik diri, senang mendominasi orang lain, egois, senang menyendiri,
kurang memiliki perasaan tenggang rasa dan kurang mempedulikan norma dalam
berperilaku (Yusuf, 2006)
Menurut Erikson dalam
Graha (2007) krisis psikososial yang terjadi pada masa ini adalah “Industri versus rasa rendah diri”. Pada masa ini sikap egosentris anak
mulai berkurang, mempunyai jiwa kompetitif, mulai berkomunikasi dengan
teman-temannya, sehingga anak tidak bisa berdiam diri. Di sisi lain banyak orang tua yang
menginginkan anaknya bisa duduk diam, sopan dan juga tenang. Keadaan tersebut
jika terjadi dalam waktu lama dapat mengakibatkan anak menjadi malas
bersosialisasi, kehilangan kesempatan untuk mengembangkan rasa kompetensinya
dilingkungan teman-temannya.
Sekolah merupakan
sistem sosial kecil tempat anak mempelajari aturan moral, sosial, sikap, dan
cara bergaul dengan orang lain. Sekolah memberikan jaringan kelompok teman
sebaya kepada anak. Pengaruh sosialisasi sekolah dihasilkan dari teman sebaya
disamping guru dan program sekolah. Menurut penelitian Barker & Wright
(dalam Santrock, 1998) menyatakan bahwa anak menghabiskan (10%) waktunya dengan
teman sebaya pada usia 2 tahun, (20%) pada usia 4 tahun, dan lebih dari (40%)
pada usia 7 tahun sampai 11 tahun. Melakukan aktivitas olahraga beregu, (45%)
pada anak laki-laki dan (26%) pada anak perempuan. Permainan umum, melakukan
perjalanan dan bersosialisasi banyak dilakukan
oleh anak laki laki. Interaksi dengan teman sebaya lebih banyak
dilakukan diluar rumah dengan kelompok teman yang mempunyai kesamaan jenis kelamin.
Menurut Hurlock (1993)
Tugas perkembangan pada masa kanak-kanak akhir adalah 1) mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk
permainan umum, 2) membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai
mahkluk yang sedang tumbuh, 3) Belajar menyesuaikan diri dengan teman seusianya, 4) mulai mengembangkan
peran sosial yang sesuai dengan jenis kelaminnya, 5)
mengembangkan keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung, 6) mengembangkan pengertian yang diperlukan
untuk kehidupan sehari-hari, 7) mengembangkan hati
nurani, moral dan tingkatan nilai, 8)
mengembangkan sikap terhadap kelompok social, dan
9)
mencapai kebebasan pribadi.
Menurut Yusuf (2006)
terdapat beberapa bentuk perilaku anak
dalam melakukan hubungan sosial dengan orang lain, yaitu: pembangkangan (negativism), agresi
(aggression), berselisih atau
bertengkar (quarreling), menggoda ( teasing), persaingan (rivarly), kerjasama (cooperation),
tingkah laku berkuasa (ascendant behavior),
mementingkan diri sendiri (selfishness)
dan simpati ( sympaty)
Pada penelitian ini
hanya meneliti keterampilan sosial anak pada usia 5-6 tahun. Alasan tersebut
didasarkan pada : 1) teori psikososial menurut Erikson (dalam Graha, 2007) yang
menyatakan bahwa sikap egosentris pada masa ini sudah mulai berkurang
dibandingkan pada masa kanak-kanak awal serta 40 % waktu anak pada usia ini
dihabiskan dengan teman sebaya, 2) untuk mengetahui lebih dini apakah anak tersebut terjadi gangguan pada
perkembangan sosialnya, sehingga masalah tersebut dapat teratasi lebih
dini.
Pada masa ini, teman sebaya memiliki peran penting dalam proses sosialisasi
anak. Proses sosialisasi pada masa ini lebih berkaitan dengan penerapan nilai
yang dapat diterima oleh lingkungan sosial dalam suatu permainan (Hetherington
& Parke, 1999). Teman sebaya merupakan sumber informasi bagi seorang anak
untuk mengetahui nilai dan bagaimana bersikap baik dalam memainkan suatu
permainan.sama seperti halnya proses sosialisasi oleh orang tua, proses
sosialisasi dengan teman sebaya dilakukan melalui modeling dan reinforcement.
Anak lain berfungsi sebagai social model yang akan ditiru oleh anak dan
pengukuh atas perilaku-perilakunya.
Teman sebaya memainkan peranan penting dalam membantu anak mengembangkan self
image dan self esteem, karena memberikan sebuah standart bagi
seorang anak dalam menilai dirinya sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
anak menggunakan perbandingan sosial dengan kelompok teman sebaya. Proses
membandingkan diri ini merupakan dasar pembentukan self image dan self
esteem seorang anak (Hetherington & Parke, 1999). Bila anak merasa
memiliki kemampuan yang sama atau lebih dibandingkan teman sebayanya, maka akan
membentuk self image yang positif dan sebaliknya, bila anak berpikir
bahwa kemampuannya dibawah teman-temannya , maka akan membentuk self image
yang negatif.
Interaksi dengan teman sebaya memberikan petualangan yang kritis bagi
seorang anak untuk mencapai kompetensi sosial yang penting. Juga berperan
penting dalam mengembangkan self control dan kemampuan mereka untuk berpikir
atau memodifikasi problem perilaku (Hetherington & Parke, 1999)
Pada masa ini, kognisi sosial anak berkembang dan mempengaruhi perilakunya.
Kognisi ini berkaitan dengan bagaimana anak mengolah informasi yang berkaitan
dengan lingkungan sosialnya. Pemrosesan informasi sosial secara tepat akan
membantu anak dalam menentukan dan mencapau tujuan pribadi dan interpersonal,
seperti bagaimana memulai dan memelihara suatu ikatan sosial. Tingkat
kognisi sosial ini akan mempengaruhi
ketrampilan dan kompetensi yang akan berdampak pada penerimaan anak oleh teman
sebaya (Santrock, 2002, Hetherington & Parke, 1999). Anak - anak yang
memiliki ketrampilan sosial yang baik akan diterima oleh teman sebaya,
sedangkan anak- anak yang ketrampilan sosialnya rendah ada dua kemungkinan, ditolak atau diabaikan
oleh teman sebaya. Penerimaan atau penolakan ini berpengaruh pada anak, penelitian menunjukkan
bahwa anak yang diterima akan mengembangkan sikap prososial dan mampu memelihara
hubungan dengan teman sebaya, sedangkan anak yang ditolak cenderung
mengembangkan sikap agresif dan anak yang diabaikan cenderung menarik diri dari
interaksi sosial (Hetherington & Parke, 1999)
Menurut piaget, perkembangan kanak-kanak menengah dan akhir berada dalam suatu transisi antara dua tahap
yaitu tahap realisme moral atau heteronomous morality dan tahap
moralitas berdasarkan hubungan timbal balik atau disebut juga autonomous
morality(dalam Hetherington dan Parke, 1999; Santrock, 2002; Hurlock, 1993).
Dalam tahap realisme moral, anak melihat peraturan dari orang tua dan orang
dewasa lainnya sebagai sesuatu yang tidak akan berubah sehingga mereka harus
senantiasa mentaati tanpa perlu mempertanyakan. Mereka juga cenderung mentaati
peraturan secara kaku dan menilai kebenaran atau kebaikan berdasarkan
konsekuensi perilaku, bukan berdasarkan
maksud atau motivasi si pelaku. Pada tahap moralitas berdasarkan
hubungan timbal balik, anak sudah menyadari bahwa peraturan merupakan
kesepakatan sosial yang dapat berubah dan boleh dipertanyakan. Anak juga sudah mampu melihat bahwa ia tidak
perlu patuh pada keinginan orang lain dan bahwa pelanggaran peraturan tidak
selalu merupakan kesalahan atau pasti akan mendapat hukuman. Dalam menilai
perilaku orang lain, anak sudah mampu mempertimbangkan perasaan dan melihat dari sudut pandang orang
tersebut(dalam Hetherington dan Parke, 1999; Santrock, 2002; Hurlock, 1993).
Piaget berpendapat seraya berkembang, anak juga menjadi lebih canggih dalam
berpikir tentang persoalan-persoalan
sosial. Piaget yakin bahwa peningkatan pemahaman sosial ini terjadi
melalui interaksi anak dengan lingkungannya, terutama orang tua dan teman
sebaya(Hurlock, 1993).
permisi kalau boleh tau , semua nya di ambil dari sumber apa ya
BalasHapusterimakasih :)
Bet365 casino bonus codes - JDKHub
BalasHapusBet365 casino 광양 출장안마 bonus codes Sign up today and receive a Welcome 통영 출장안마 Bonus up to 양주 출장샵 ₹50000 경상북도 출장샵 in 포천 출장안마 bet credits for the first