Sabtu, 22 Juni 2013

A.    KEHAMILAN  
Kehamilan berasal dari kata latin “graviditas” yang berarti suatu fetus atau embrio yang dikandung di dalam tubuh seorang wanita. Kehamilan biasanya berlangsung rata-rata selama 40 minggu yang dimulai dari hari pertama menstruasi terakhir. Menurut WHO, masa kehamilan normal berlangsung antara 37 – 42 minggu. Masa kehamilan ini dibagi dalam tiga bagian yang sama atau trimester, yakni:
                        1. Trimester pertama: 1 – 14 minggu
                        2. Trimester kedua: 14 – 30 minggu
                        3. Trimester ketiga: 30 – 40 minggu
                         
1.      Perubahan pada Wanita Hamil

Kehamilan pada umumnya merupakan suatu proses alamiah dalam kehidupan wanita, yang melibatkan perubahan hormonal yang kompleks. Efek perubahan hormonal ini akan menyebabkan perubahan fisik dan perubahan fisiologis.Perubahan-perubahan ini merupakan proses adaptif (penyesuaian diri) selama masa kehamilan untuk kebutuhan perkembangan janin dan persiapan untuk melahirkan.

Kehamilan melibatkan adaptasi maternal yang meliputi perubahan-perubahan fisik dan fisiologis. Perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi, seperti: perubahan sistem kardiovaskular, hematologi, respirasi, gastrointestinal, saluran kemih dan endokrin. Perubahan yang terjadi merupakan hasil dari peningkatan sekresi hormonal dan pertumbuhan janin.



a.                  Perubahan sistem kardiovaskular

Sistem kardiovaskular mengalami perubahan pada masa kehamilan. Perubahan sistem kardiovaskular meliputi posisi dan ukuran jantung, peningkatan volume darah dan kardiac output, penurunan tekanan darah dan kemungkinan mengalami sindrom supine hipotensi.Uterus yang membesar menyebabkan diafragma mengalami elevasi, sehingga jantung bergeser ke atas dan sedikit ke kiri dengan rotasi pada aksis jantung. Selain itu, ukuran jantung meningkat sekitar 12% karena peningkatan volume atau hipertropi otot jantung.
Perubahan vaskular pada masa kehamilan ditandai dengan meningkatnya volume darah sekitar 32% dan kardiac output sekitar 20-40%.Kardiak output sangat sensitif terhadap perubahan posisi tubuh. Sensitivitas ini meningkat seiring dengan usia kehamilan, karena uterus menekan vena kava inferior, sehingga terjadi penurunan aliran darah balik ke jantung. Peningkatan kardiak output menyebabkan denyut nadi meningkat 10-20 denyutan per menit sebagai proses adaptasi maternal. Penurunan tekanan darah terjadi pada trimester pertama. Tekanan darah dapat menurun baik pada sistolik maupun diastolik. Tekanan darah sistolik mengalami sedikit perubahan, namun tekanan darah diastolik menurun 5-10 mmHg pada minggu ke 12-28 kehamilan. Setelah minggu ke 36 kehamilan, tekanan darah akan meningkat seperti keadaan normal.
Sindrom supine hipotensi adalah keadaaan yang mempengaruhi hampir 8% wanita hamil dan biasanya terjadi pada trimesrter ketiga. Sindrom ini diakibatkan karena penekanan uterus pada vena kava inferior dan terhalangnya venous return ke jantung pada saat posisi terlentang. Keadaan ini menyebabkan penurunan tekanan darah dan kehilangan kesadaran.

b.                  Perubahan  sistem respirasi
            Perubahan sistem respirasi pada masa kehamilan diperlukan untuk pertumbuhan janin dan kebutuhan oksigen maternal. Perubahan sistem respirasi meliputi perubahan kebutuhan oksigen, dyspnea (sesak nafas) dan peningkatan volume tidal.
Kebutuhan oksigen berubah pada masa kehamilan. Kebutuhan oksigen wanita hamil akan meningkat sebesar 20 % dan persediaan oksigen cadangan akan berkurang. Hal ini akan menyebabkan wanita hamil rentan mengalami hipoksia.
Produksi hormon seks wanita yang meningkat akan mempengaruhi mukosa saluran respirasi. Hal ini ditandai dengan adanya pembesaran pada nasofaring, laring, trakhea dan bronkus. Keadaan tersebut menyebabkan perubahan suara dan pernafasan melalui hidung mengalami gangguan. Oleh karena itu, keluhan dyspnea sering dijumpai pada wanita hamil.
Peningkatan volume tidal disebabkan oleh uterus menekan diafragma ke atas. Pergeseran diafragma ini akan menyebabkan kapasitas paru total menurun 4-5%. Kapasitas residu fungsional, volume residu, dan volume cadangan respirasi mengalami penurunan sekitar 20%. Volume tidal yang lebih besar dan volume residu yang menurun menyebabkan peningkatan ventilasi alveolar sebesar 65% pada masa kehamilan. Selain itu, kapasitas inspirasi meningkat 5-10%.

Perubahan hormonal juga menyebabkan pembesaran mukosa saluran respirasi. Pernafasan melalui hidung akan semakin sulit, sehingga wanita hamil cenderung bernafas dengan mulut, terutama pada malam hari. Hal ini akan menyebabkan terjadinya xerostomia. Insidensi xerostomia pada wanita hamil adalah sekitar 44%. Xerostomia ini akan meningkatkan frekuensi karies gigi.

c.                   Perubahan sistem hematologi
Perubahan sistem hematologi yang terjadi adalah peningkatan volume darah, anemia dan peningkatan faktor koagulan, kecuali faktor XI dan XIII. Peningkatan volume darah diperlukan untuk mengkompensasi aliran darah ke uterus, kebutuhan metabolisme fetus dan peningkatan perfusi pada organ lain terutama ginjal. Anemia yang terjadi pada wanita hamil disebabkan karena peningkatan jumlah volume darah yang lebih besar daripada jumlah volume sel darah merah. Faktor koagulan VIII-X akan meningkat, namun faktor XI dan XIII akan menurun pada wanita hamil. Dengan demikan, kehamilan merupakan suatu keadaan hiperkoagulasi. Keadaan hiperkoagulasi ini akan meningkatkan resiko terjadinya trombosis.
d.                  Perubahan sistem gastrointestinal
Perubahan sistem gastrointestinal terjadi karena perubahan hormonal dan akibat pembesaran uterus. Perubahan tersebut terlihat dengan adanya nausea (rasa mual) dan muntah. Nausea dan muntah terjadi pada awal kehamilan yang dimulai dari 5 minggu setelah menstruasi terakhir dan puncaknya terjadi sekitar 8-12 minggu. Setelah itu, gejalanya akan perlahan-lahan menurun. Hal ini disebabkan karena kadar estrogen dan progesteron yang meningkat. Nausea yang berlebihan akan menyebabkan hiperemesis. Insidensi hiperemesis hanya terjadi sekitar 1% pada wanita hamil. Selain itu, nausea dapat menyebabkan ptyalism (hipersalivasi). Hipersalivasi disebabkan karena kemampuan wanita hamil yang nausea untuk menelan saliva menjadi berkurang.
Peningkatan hormon gastin akan menyebabkan peningkatan volume lambung dan penurunan pH lambung. Selain itu, pembesaran uterus menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik (gastric reflux).Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya pyrosis (heartburn). Insidensi heartburn terjadi kira-kira 32-50% pada wanita hamil.

e.                   Perubahan sistem saluran kemih

Perubahan sistem saluran kemih meliputi peningkatan jumlah filtrasi glomerulus (GFR), perubahan biokimia pada urin dan darah, dan infeksi saluran kemih. Peningkatan aliran plasma ginjal sekitar 50-80% dan pada GFR sekitar 50%. Peningkatan ini sebagai akibat dari peningkatan volume darah. Peningkatan GFR dan lemahnya kapasitas resorbsi tubuler untuk menfiltrasi glukosa akan menyebabkan terjadinya glukosuria. Peningkatan glukosa dalam urin akan meningkatkan insiden infeksi saluran kemih.

f.                   Perubahan sistem endokrin
Hormon seks wanita yang utama diproduksi oleh plasenta, yaitu: estrogen, progesteron dan gonadotrophin. Hormon-hormon ini berpengaruh terhadap perubahan-perubahan fisiologis pada masa kehamilan. Estrogen dan progesteron adalah hormon antagonis dari insulin. Meningkatnya kedua hormon ini akan menyebabkan hormon insulin menjadi resisten, sehingga hormon insulin akan meningkat sebagai proses homeostatik. Akan tetapi, sekitar 45% wanita hamil tidak mampu memproduksi hormon insulin sehingga keseimbangan tidak terjadi. Keadaan ini meningkatkan resiko terjadinya diabetes gestational, terutama pada wanita yang mengalami obesitas dan memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus tipe II. Diabetes gestational biasanya terdeteksi pada masa trimester ketiga kehamilan.
g.                  Perubahan  imunologi
Janin memiliki separuh DNA dari sang ayah, sehingga sistem kekebalan tubuh ibu mengenali dia sebagai "benda asing". Oleh karena itulah, selama kehamilan, sistem kekebalan tubuh berubah agar tidak membahayakan bayi dalam kandungan. Perubahan dalam sistem kekebalan tubuh ibu termasuk:
·         Meningkatnya produksi macrophages, sel yang bertugas menghancurkan bakteri, namun tidak memberikan jaminan untuk melindungi Anda dari infeksi bakteri.
·         Berkurangnya aktivitas sel NK (natural killer), sel darah putih yang yang menyerang sel-sel yang sudah terinfeksi virus atau bagian dari tumor.
·         Berkurangnya aktivitas sel T, sel yang membantu mengontrol infeksi virus.
·         Berkurangnya produksi cytokines, protein yang dilepaskan sel imunitas untuk membuat sel-sel lain membantu melawan infeksi.
Dengan menurunnya fungsi sel T, ibu hamil jadi lebih rentan terhadap infeksi, yang dulu tatkala sistem kekebalan tubuh berfungsi normal, tidak menyebabkan sakit. Dominic Marchiano, asisten profesor obstetri dan ginekologi di Universitas Kedokteran Pennsylvania, AS, mengatakan, penyakit yang disebabkan oleh virus jadi lebih banyak dialami wanita pada saat dia hamil. Selain itu, kekebalan ibu hamil yang menurun, akan semakin rendah, dipengaruhi oleh:
1.      Aktivitas harian yang tetap tinggi.
2.      Faktor cuaca yang berubah ekstrem, dari panas ke dingin.
3.      Interaksi dengan banyak orang, terutama yang tidak sehat.
4.      Pola hidup tidak sehat, misalnya kekurangan nutrisi.
2.      Hubungan Kehamilan dengan Rongga Mulut
Kehamilan melibatkan perubahan-perubahan hormonal kompleks yang menyebabkan perubahan-perubahan fisiologis pada hampir seluruh tubuh, termasuk rongga mulut.1 Perubahan-perubahan ini dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit mulut. Peningkatan resiko terjadinya penyakit mulut pada wanita hamil disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:
a.       Refleks muntah (gagging)
Pada trimester pertama kehamilan, beberapa wanita hamil sulit menyikat gigi karena sikat gigi atau pasta gigi merangsang refleks muntah. Hal ini menyebabkan penyikatan gigi sulit dilaksanakan, sehingga meningkatkan frekuensi karies gigi.16
b.       Nausea dan muntah
Insiden nausea dan muntah sekitar 50-90% pada trimester pertama kehamilan. Muntah-muntah yang berkepanjangan dapat menyebabkan permukaan lingual dari gigi anterior terpapar asam lambung dan pH saliva berubah sehingga meningkatkan frekuensi karies gigi.


c.       Perubahan pola makan
Kehamilan dapat mengubah selera makan dan pola makan (kebiasaan mengidam). Pada umumnya nafsu makan wanita hamil akan meningkat. Hal ini menjadi penyebab diet makanan menjadi tidak seimbang. Selain itu, kebiasaan memakan makanan berkadar gula tinggi dalam waktu yang lama akan meningkatkan frekuensi karies gigi.
d.      Rasa takut
Keadaan gingiva yang lebih sensitif terhadap pendarahan dan rasa sakit dapat mempengaruhi wanita hamil untuk menjadi takut menggosok gigi. Keadaan ini menyebabkan poket periodontal semakin dalam.4
Sebagian wanita hamil merasa takut untuk melakukan kunjungan ke dokter gigi. Hal ini akan memperpanjang waktu pengabaian diet yang tidak seimbang, akibatnya terjadi peningkatan konsumsi karbohidrat berfermentasi selama kehamilan.
e.       Perubahan perilaku / kebiasaan
Frekuensi kebersihan mulut yang berkurang dapat disebabkan karena kelelahan atau rasa malas, nausea pada saat menyikat gigi, kekhawatiran tentang kecenderungan meningkatnya pendarahan gingiva saat menyikat gigi.Kebiasaan mengabaikan kebersihan gigi dan mulut ini dapat berakibat terjadinya peningkatan frekuensi karies dan penyakit periodontal.4
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa pada wanita hamil terjadi perubahan fisiologis yang disertai dengan perubahan sikap dan perilaku yang tidak biasa. Oleh karena itu, penyakit mulut yang terjadi pada masa kehamilan bukan semata-mata dipengaruhi oleh kehamilan, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor sikap dan perilaku wanita hamil.


3.      Dampak / Efek Kehamilan terhadap Kesehatan Rongga Mulut
Kehamilan menyebabkan perubahan fisiologis pada tubuh dan termasuk juga di rongga mulut.1 Hal ini dapat terlihat terutama pada gingiva. Perubahan ini dipengaruhi oleh perubahan pada sistem hormonal dan vaskular bersamaan dengan faktor iritasi.10 Efek kehamilan terhadap kesehatan rongga mulut meliputi gingivitis kehamilan, tumor kehamilan, erosi gigi, karies gigi dan mobiliti gigi.


a.      Gingivitis kehamilan
Gingivitis kehamilan adalah peradangan gingiva pada wanita hamil. Prevalensi gingivitis kehamilan terjadi sekitar 60-75%.Keadaan ini disebabkan karena meningkatnya hormon seks wanita dan biasanya tidak terjadi tanpa keberadaan iritan lokal. Oleh karena itu, kehamilan bukanlah penyebab langsung dari gingivitis kehamilan, tetapi perubahan metabolisme jaringan pada kehamilan yang memperburuk respons gingiva terhadap iritan lokal.
Gingivitis kehamilan terlihat sejak bulan kedua dari kehamilan dan mencapai puncaknya pada bulan kedelapan.Secara klinis, gingivitis kehamilan sangat bervariasi. Distribusi peradangan biasanya generalisata, dan cenderung lebih menyolok pada sisi interproksimal daripada sisi vestibular dan oral. Gingiva yang terlibat berwarna merah terang, lunak, mudah tercabik, dengan permukaan yang licin dan berkilat. Pendarahan gingiva bisa terjadi secara spontan atau disebabkan oleh iritasi ringan, seperti gingiva cenderung berdarah pada saat menyikat gigi.19-21 Kadang-kadang, penderita akan mengalami sedikit rasa sakit.

b.      Tumor Kehamilan (granuloma pyogenik)

Tumor kehamilan adalah lesi peradangan hiperplastik yang lunak. Prevalensi tumor kehamilan terjadi sekitar 1,8-5 %.Keadaan ini disebabkan karena meningkatnya hormon seks wanita, iritasi lokal dan bakteri.Tumor kehamilan sebenarnya bukanlah neoplasma, melainkan respon inflamatoris terhadap iritan lokal yang dimodifikasi oleh kondisi pasien.
Tumor kehamilan biasanya terlihat pada trimester ketiga kehamilan, tetapi bisa juga terjadi lebih cepat.Secara klinis, tumor kehamilan terlihat seperti massa bulat dan pipih berwarna merah keunguan sampai merah kebiruan yang menjulur dari tepi gingiva atau dari ruang interproksimal. Lesi ini biasanya terjadi di sekitar daerah papilla interdental dan pada daerah-daerah yang terdapat iritan lokal. Lesi ini lebih sering terjadi pada rahang atas terutama di sisi vestibular pada daerah anterior dan dapat membesar menutupi mahkota gigi. Lesi ini biasanya tidak disertai nyeri sakit, namun jika lesi berbentuk besar dapat menyebabkan ulserasi yang disertai nyeri sakit. Selain itu, tumor kehamilan mudah berdarah jika terkena injuri.
Meskipun tumor kehamilan berkurang besarnya secara spontan setelah persalinan, penyingkiran lesi ini secara tuntas memerlukan penyikiran semua bentuk iritan lokal.


c.        Erosi gigi
Erosi enamel adalah kerusakan gigi pada bagian enamel. Selama masa kehamilan, rongga mulut lebih sering terpapar pada asam lambung akibat rasa mual dan muntah yang dapat merusak dental enamel. Keadaan ini biasanya terjadi pada bagian palatal dari anterior rahang atas. Erosi gigi lebih sering dialami oleh wanita hamil yang mengalami hyperemesis gravidarum.
d.      Karies gigi
Karies gigi adalah proses demineralisasi enamel akibat asam yang berasal dari proses fermentasi karbohidrat.Proses karies lebih cepat terjadi pada masa kehamilan. Keadaan ini disebabkan karena pH saliva wanita hamil lebih asam daripada wanita tidak hamil, kebiasaan memakan makanan berkadar gula tinggi, dan adanya rasa mual dan muntah yang membuat wanita hamil malas memelihara kebersihan rongga mulut.
e.       Mobiliti gigi
Mobiliti gigi dapat terjadi pada masa kehamilan. Keadaan ini disebabkan karena peningkatan hormon seks wanita yang mempengaruhi jaringan periodontal, yakni ligamen periodontal dan tulang alveolar yang mendukung gigi. Oleh karena itu, mobiliti gigi dapat disebabkan oleh penyakit periodontal, seperti: gingivitis dan periodontitis.

4.      Dampak / Efek Kesehatan Rongga Mulut terhadap Kehamilan
Berbagai penelitian menunjukkan hubungan antara penyakit periodontal dengan kehamilan, berupa persalinan dini, yaitu masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR).Bukti pertama adanya hubungan ini adalah penelitian Galloway (1931) yang menunjukkan adanya efek infeksi bakteri dari penyakit periodontal terhadap wanita hamil dan perkembangan fetus.
Offenbacher dkk melakukan penelitian pada 93 wanita hamil yang melahirkan BBLR. Dengan memperhitungkan faktor resiko lain seperti: merokok, konsumsi alkohol, penyalahgunaan obat, frekuensi perawatan prenatal, paritas dan infeksi saluran kemih, ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara BBLR dengan penyakit periodontal. Wanita hamil dengan periodontitis mempunyai resiko tujuh kali lebih besar daripada wanita hamil tanpa periodontitis untuk melahirkan BBLR.
Penelitian Offenbacher dkk selanjutnya menemukan bahwa kadar PG2 lebih tinggi pada wanita yang melahirkan bayi dengan BBLR. Selain itu, mereka juga menemukan bakteri patogen periodontal, yaitu B. forsythus, P. Gingivalis, T. denticola dan A. Actinomyecetemcomitans pada wanita hamil. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara penyakit periodontal dengan kelahiran BBLR.
Penyakit periodontal disebabkan oleh bakteri anaerob gram negatif. Toxin dari bakteri ini berupa endotoksin / lipopolisakarida (LPS), yang akan mencapai uterus melalui aliran darah dan merangsang respon inflamatori jaringan periodontal. Proses ini akan menimbulkan bakterimia. Oleh karena itu, LPS akan memicu mediator inflamatori pada organ sistemik dan jaringan periodontal, terutama sitokinin, tumor nekrosis faktor (TNF-α), interleukin (IL-1ß), dan prostaglandin (PGE2) yang dapat mempengaruhi kehamilan. Mediator ini dapat membahayakan unit fetoplasenta dengan menimbulkan kontraksi otot rahim dan dilatasi leher rahim. Keadaan ini meningkatkan resiko kelahiran BBLR.
Berikut adalah gambar mengenai mekanisme efek penyakit periodontal terhadap kelahiran BBLR.
Periodontitis
Unit fetoplasenta
Peningkatan IL-1 ß, PGE2
Kontraksi otot rahim
Dilatasi leher rahim
Jaringan periodontal
Flora patogenik
Pelepasan LPS/endotoksin
Organ-organ sistemik
Terpapar LPS dan memicu
mediator untuk peningkatan sitokinin
Jaringan periodontal
Pelepasan mediator inflamatori secara local,
IL-1 ß, TNF-α, PGE2
 














Pada kenyataannya, perawatan penyakit periodontal telah dibuktikan dapat mengurangi resiko kelahiran BBLR. Selain itu, penelitian lain juga menunjukkan efek penyakit periodontal terhadap kehamilan berupa resiko terjadinya pre-eklampsia.


B.     KELAHIRAN PREMATURE
1.      Pengertian
Kelahiran prematur (preterm birth) diartikan sebagai umur kehamilan kurang dari 37 minggu. Kelahiran bayi kurang dari 29 minggu dianggap sangat prematur dan disebut sebagai extremely preterm birth sedangkan umur kehamilan kurang dari 33 minggu disebut very preterm birth. Preterm low birthweight (PLBW) diartikan sebagai ibu dengan kelahiran prematur dan bayi berberat badan lahir rendah.Berdasarkan World Health Organization (WHO), bayi berberat badan lahir rendah diartikan sebagai berat badan bayi kurang dari 2500 gram dan kelahiran prematur diartikan sebagai umur kehamilan kurang dari 37 minggu dihitung dari hari pertama periode menstruasi terakhir.

2.      Etiologi kelahiran bayi prematur
Selama dua dekade terakhir, diyakini kelahiran prematur memiliki hubungan dan mungkin dipengaruhi oleh infeksi bakteri intra uterin.Telah dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor resiko lainnya yang mungkin berpengaruh pada kelahiran prematur. Faktor-faktor tersebut adalah usia ibu saat hamil, status sosio ekonomi, status pernikahan, kebiasaan merokok, kesehatan mental, konsumsi alkohol, terapi prenatal yang memadai, aktivitas fisik, penyakit kronis (seperti asma dan diabetes) dan infeksi intra uterin. Status kesehatan ibu sebelum kehamilan seperti berat badan rendah, riwayat hipertensi kronis, fungsi fisik pra-kehamilan yang buruk dan kebiasaan merokok juga memiliki pengaruh terhadap kenaikan resiko kelahiran prematur.Walaupun etiologi kelahiran prematur bersifat multifaktorial, respon inflamasi infeksi adalah faktor utama yang menyebabkan kelahiran prematur.

3.      Komplikasi Kelahiran Bayi Secara Prematur

Kelahiran bayi dengan berat badan rendah merupakan suatu penyebab utama kematian perinatal dan kondisi bayi yang cacat atau abnormal. Bayi berberat badan lahir rendah cenderung memiliki angka kematian 40 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan bayi berberat badan lahir normal. Bayi berberat badan lahir rendah juga cenderung memiliki resiko lahir cacat yang lebih besar.Komplikasi kelahiran prematur tidak hanya beresiko terhadap ibu tetapi juga terhadap janin. Bayi yang lahir prematur yang berhasil bertahan hidup pada masa neonatal memperlihatkan gangguan perkembangan neurologi yaitu cerebral palsy, kebutaan, kehilangan pendengaran; gangguan respirasi yaitu asma, infeksi saluran nafas bagian bawah, bronchopulmonary dysplasia, penyakit paru kronis; gangguan kebiasaan yaitu attention deficit hyperactivity disorder; gangguan pembelajaran; gangguan kardiovaskular; abnormalitas metabolisme yaitu obesitas dan diabetes melitus tipe dua.

C.    HUBUNGAN  INFEKSI PERIODONTAL DENGAN KELAHIRAN PREMATURE
1.                  Mekanisme persalinan premature terhadap infeksi
Data dari penelitian hewan, in vitro dan manusia seluruhnya memberikan gambaran yang konsisten bagaimana infeksi balteri menyebabkan persalinan prematur spontan . Invasi bakteru rongga koriodesidua, yang bekerja melepaskan endotoksin dan eksotoksin, mengaktivasi desidua dan membran janin untuk menghasilkan sejumlah sitokin, termasuk including tumor necrosis factor, interleukin-1, interleukin-1ß, interleukin-6, interleukin-8, dan granulocyte colony-stimulating factor.selanjutnya, cytokines, endotoxins, dan exotoxins merangsang sistesis prostaglandin dan pelepasan dan juga mengawali neutrophil chemotaxis, infiltrasi, dan aktivasi, yang memuncak dalam sistesis dan pelepasan metalloproteases dan zat bioaktif lainnya. Prostaglandin merangsan kontraksi uterus sedangkan metalloprotease menyerang membran korioamnion yang menyebabkan  pecah ketuban. Metalloprotease juga meremodeling kolagen dalam serviks dan melembutkannya.
Jalur yang lain mungkin memiliki peranan yang sama baik. Sebagai contoh, prostaglandin dehydrogenase dalam jaringan korionik menginaktivasi prostaglandin yang dihasilkan dalam amnion yang mencegahnya mencapai miometrium dan menyebabkan kontraksi. Infeksi korionik menurunkan aktivitas dehidrogenase ini yang memungkinkan peningkatan kuantitas prostaglandin untuk mencapai miometrium. Jalus lain dimana infeksi menyebabkan persalinan prematur melibatkan  janin itu sendiri.  Pada janin dengan infeksi, peningkatan hipotalamus fetus dan produksi corticotropin-releasing hormone menyebabkan meningkatnya sekresi kortikotropin janin, yang kembali meningkatkan produksi kortisol adrenal fetus. Meningkatnya sekresi kortisol menyebabkan meningkatnya produksi prostaglandin. Juga, ketika fetus itu sendiri terinfeksi, produksi sitokin fetus meningkat dan waktu untuk persalinan jelas berkurang. Namun, kontribusi relatif kompartemen maternal dan fetal terhadap respon peradangan keseluruhan tidak diketahui.

Gambar 3. alur yang memungkinkan dari kolonisasi bakteri koriodesidua untuk persalinan premature
2.      Dampak kelahiran prematur dengan bayi berat badan lahir rendah
            Dampak dari proses persalinan prematur pada bayi cukup besar. Bayi dapat mengalami kondisi berat badan lahir rendah dimana bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 kg. Dengan ditemukannya metode perawatan intensif pada bayi yang baru lahir pada tahun 1960 dan dengan ditemukannya terapi surfaktan pada tahun 1980 maka angka harapan hidup bayi prematur dengan berat badan lahir yang rendah semakin meningkat. Meskipun demikian, jika dibandingakan dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal, bayi PLBW adalah 40 kali lebih rentan mengalami kematian selama periode kelahiran. Bayi PLBW mewakili sekitar 10% dari seluruh kelahiran hidup di Amerika Utara dan biaya perawatan medis untuk bayi premature ini diperkirakan lebih dari 5 juta $ per tahun.
            Bayi PLBW yang tetap bertahan hidup dalam periode kelahiran akan menghadapi tingginya risiko terkena gangguan saraf, gangguan kesehatan (seperti asma, infeksi saluran pernafasan bagian atas dan bawah dan infeksi telinga) serta amonali kongenital. meskipun hampir sebagian besar anak-anak yang dahulunya mengalami bayi PLBW terliaht normal pada saat pemeriksaan neurologis, namun tingkat disfungsineuromotor anak-anak tersebut terlihat lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Tingkat ganguan saraf tersebut adalah berkisar dari abnormalitas ringan neuromotor sampai terjadinya serebral palsy yang mana serebral palsy ini hampir 20% mengenai bayi yang lahir dengan berat badan yang sangat rendah (berat badan bayi pada saat lahir kurang dari 1500 gr). Selain itu mereka juga mengalami masalah perilaku dengan prevalensi yang cukup tinggi, seperti terjadinya kelainan hiperaktif yang mana anak tidak dapat memusatkan perhatiannya pada suatu pelajaran dan juga mengalami kelainan perilaku formal. Masalah belajar yang dialami oleh anak-anak yang dahulunya mengalami LBW juga di laporkan oleh sebagian guru mereka termasuk rendahnya prestasi di kelas, serta melalui penilaian keterampilan akademis secara klinis ternyata anak-anak ini memperlihatkan rendahnya kemampuan membaca, pengucapan dan berhitung. Penelitian intelektual dan fungsi akademik selama masa remaja dari anak-anak yang lahir sebelum tahun 1960 menunjukan bahwa dampak buruk dari bayi yang lahir dengan berat badan rendah tetap terjadi sampai masa remaja meeka. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa bayi prematur yang tetap bertahan hidup tidak akan terbebas dari gangguan kesehatan meskipun usianya semakin dewasa.
3.      Pengaruh infeksi terhadap kelahiran prematur
Infeksi untuk saat ini dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab bayi PLBW, yang mana pengaruhnya mencapai 30% sampai 50% dari keseluruhan kasus.  Infeksi bakteri pada korioamnion atau membran ekstraplasenta dapat mengakibatkan terjadinya korioamnionitis yaitu suatu keadaan yang berhungan erat dengan ruptur/pecahnya membran secara prematur dan mengakibatkan bayi lahir secara prematur. Mekanisme biologisnya yaitu keberadaan bakteri memicu aktivitas imunitas yang dimediasi oleh sel yang menyebabkan dihasilkannya sitokin seperti interleukin (IL-1 dan IL-6) dan tumor necrosis Factor alpha (TNF-alpha) dan sintesis serta pelapasan prostaglandin (terutama prostaglandin E (PGE). Secara normalnya selama masa kehamilan, kadar mediator imunitas dalam cairan amnion semakin meningkat secara fisiologis sampai akhirnya mancapai kadar yang diperlukan untuk mendilatasi/melebarkan leher rahim dan merangsang kelahiran. Namun oleh karena adanya produksi abnormal dari mediator imunitas ini akibat dari infeksi bakteri maka hal ini memicu terjadinya kelahiran secara prematur dan kelahiran bayi dengan LBW.
Beberapa kasus korioamnionitis yang diperiksa secara hitologis ternyata tidaklah berkaitan dengan infeksi aktif pada saluran genitourinaria dan kultur bakterinya pun negatif sehingga kedua hal ini menunjukkan bahwa infeksi lokal bukan satu-satunya penyebab korioamnionitis. Penemuan ini menimbulkan spekulasi bahwa infeksi mungkin berasal dari bagian tubuh lainnya yang jauh dari kompleks plasenta atau berada jauh dari saluran genitourinaria dan hal ini masih tetap dinyatakan sebagai faktor risiko bayi PLBW. mekanismenya yaitu adanya aksi secara tidak langsung dari perpindahan produk bakteri seperti endotoksin terutama LPS atau adanya aksi mediator inflamasi yang dihasilkan selama masa kehamilan atau kedua-duanya.
4.      Periodontal terhadap terjadinya bayi premature dan berat badan lahir rendah
Selain hasil penelitian melalui binatang percobaan, Offenbacher dkk (1998) melakukan serangkaian penelitian klinis untuk menguji hipotesis yang menyatakan bahwa infeksi periodontal yang berperan sebagai reservoir bakteri gram-negatif dapat pula mempengaruhi unti plasenta janin. Penelitian yang pertama merupakan penelitian kasus kontrol pada 93 orang ibu yang memiliki bayi prematur dengan berat badan lahir yang rendah, yang mana tingkat perlekatan klinis jaringan periodontal dijadikan sebagai ukuran kesehatan jaringan periodontal. Setelah menerapkan model regresi logistik multivariat (merokok dan penggunaan obat-obatan, konsumsi alkohol, tingkat perawatan medis selama kehamilan, keseimbangan gizi, infeksi genitourinaria dan status gizi) maka diperolehlah hubungan yang signifikan secara statistik antara penyakit peridontal dengan bayi PLBW. Setelah faktor risiko yang lainnya disesuaikan maka penulis menyatakan bahwa ibu yang mengalami penyakit periodontal adalah 7 kali lebih berisiko memiliki bayi prematur dengan LBW. Berdasarkan perhitungan data maka dinyatakan bahwa 18,2% bayi PLBW untuk setiap tahunnya mungkin disebabkan oleh penyakit periodontal.
Melalui penelitian kasus kontrol berikutnya, offenbacher dkk, mengukur kadar PGE dan IL-1 dalam cairan krevikuler gingiva (GCF = Gingiva Crevicular Fluid) dari 48 orang ibu yang memiliki bayi PLBW. Selain itu, kadar 4 patogen periodontal (Bacteroides forsythus, P. Gingivalis, Actinobacillus actinomy-cetemcomitans dan Treponema denticola) deukur dengan menggunakan probe DNA spesifik-mikroba. Kadar PGE dalam cairan krevikuler gingiva secara signifikan lebih tinggi pada ibu yang memiliki bayi PLBW jika dibandingkan dengan ibu yang memiliki bayi dengan berat badan lahir normal (kontrol). Empat patogen periodontal yang seringkali dikaitkan dengan akumulasi plak dan perkembangan penyakit periodontal ternyata dideteksi dengan kadar yang lebih tinggi secara signifikan pada ibu yang memiliki bayi PLBW. Selain itu, diantara ibu yang memiliki bayi PLBW ternyata terdapat hubungan yang terbalik antara berat badan lahir (termasuk usia kehamilan) dengan kadar PGE dalam cairan krevikuler gingiva dan hal ini menandakan adanya hubungan respon-dosis yaitu jika kadar PGE dalam cairan krevikuler gingiva meningkat berarti aktivitas penyakit periodontal mengalami peningkatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya berat badan lahir.
Melalui penelitiannya yang terbaru, offenbacher dkk menganalisis sampel darah yang diambil dari tali pusar janin untuk mengetahui keberadaan antibodi imunoglobulin M (IgM) yang berfungsi untuk melawan patogen periodontal. Melalui pemeriksaan bakteri pada sejumlah bayi prematur dengan berat badan lahir rendah ternyata 33,3% memperlihatkan hasil positif adanya IgM, sedangkan IgM pada bayi yang berat badan lahirnya normal hanya terdeteksi sebanyak 17,9%. Dari 13 patogen periodontal yang diikutsertakan dalam analisis, IgM yang berfungsi untuk melawan Campylobacter rectus,P. Gingivalis dan Fusobacterium nucleatum. Meskipun bayi PLBW maupun bayi yang berat badan lahirnya normal sama-sama memiliki IgM dalam tali pusarnya yang berfungsi untuk melawan spesifik, namun adanya respon imun janin tersebut menandakan bahwa infeksi periodontal selama masa kehamilan dapat berpengaruh secara sistemik terhadap janin dalam kandungan.

5.      Mekanisme periodontal mempengaruhi kejadian kelahiran prematur
a.       Perpindahan patogen periodontal ke bagian plasenta janin
Tak satupun organisme bakteri yang dapat diidentifikasi pada 18% samapai 40% membran korioamniotik yang mengalami inflasi secara histologis. Sebagai akibatnya, secar umum dinyatakan bahwa peranan infeksi periodontal sebagai faktor risiko bayi PLBW adalah lebih cenderung melalui perpindahan produk bakteri terutama LPS atau lebih cenderung melalui perpindahan mediator inflamasi terutama IL-1, IL-6, TNF-Alpha, PGE jika dibandingkan melalui penyebaran atau perpindahan bakteri anareb, sehingga bakteri anaerob ini tidak mungkin menyebar melalui aliran darah yang mengandung oksigen dan tidak menyebabkan infeksi secara langsung pada bagian plasenta janin.
Meskipun demikian, satu hal yang menarik adalah mengenai bakteri F. Nucleatum. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, IgM yang secara langsung melawan F. Nucleatum lebih sering ditemukan dalam darah tali pusar janin dari sampel bayi PLBW jika dibandingkan dengan IgM yang melawan bakteri jenis lainnya. Selain itu, diantara kasus bayi PLBW yang cairan amnionnya dikultur, ternyata hampir sepertiga dari kultur tersebut memperlihatkan kultur positif Fusobacteriun (F. Nucleatum) jika dibandingkan dengan jenis bakteri lainnya. Tingginya frekuensi penemuan F. Nucleatum ini bukanlah mencerminkan prevalensi mikroflora khas yang berasal dari vaginosis. Penemuan ini menimbulkan spekulasi bahwa prevalensi F. Nucleatum (patogen periodontal pada kasus bayi PLBW yang kultur amnionnya positif mencerminkan adanya penyebaran F.Nucleatum secar hematogen (melalui alairan darah) atau adanya rute infeksi ke arah atas yang disebabkan oleh aktivitas seksual kontak oral-genital dari pasangan seksualnya.
b.      Aksi reservoir periodontal yang melapaskan LPS bakteri ke bagian plasenta janin
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada kasus bayi PLBW yang mana hasil pemeriksaan histologi dari korioamnionitisnya memperlihatkan kultur yang negatif, hal ini menadakan bahwa infeksi lokal tidak selamanya dapat memicu mediator inflamasi yang dapat menimbulkan kelahiran prematur. Penemuan ini menegaskan tentang kemungkinan adanya aksi secara tidak langsung yaitu perpindahan produk bakterial seperti endotoksin terutama LPS.  LPS dapat menstimulasi dihasilkannya prostaglandin oleh plasenta dan korioamnion. Peningkatan konsentrasi LPS telah ditemukan dalam cairan amnion dari kasus bayi PLBW.Secara logis dapat dinyatakan bahwa bakteri anaerob gram-negatif yang berperan dalam periodontitis progresif merupakan reservoir kronis LPS yang dapat menyebabkan terjadinya bayi PLBW.
c.          Aksi reservoir periodontal yang memicu pelepasan mediator inflamasi (IL-1, IL-6, TNF alfa, PGE) ke bagian plasenta
Sitikon proinflamasi IL-1, IL-6 dan TNF-alpha menstimulasi sistesis PGE oleh plasenta manusia dan korioamnion. Kadar sitikon ini dalam cairan amnion seringkali mengalami peningkatan pada wanita yang memilki bayi PLBW. Sitikon ini dapat melewati membran janin manusia dan dapat dinyatakan bahwa tingginya konsentrasi sitikon ini adalah dipicu oleh jaringan yang mengalami periodontitis kronis, selain itu tingginya kadar sitikon dalam plasma pasien yang mengalami periodontitis dapat mempengaruhi bagian janin dan menyebabkan terjadinya bayi PLBW.
6.      Kronologis terjadinya infeksi periodontal dengan kejadian prematuritas
            Infeksi yang terjadi di intra uteri sebenarnya tidak langsung berasal dari periodontal. Penyakit periodontal merupakan penyakit infeksi menghasilkan inflamasi gingival dan jaringan periodontal serta kehilangan tulang alveolar yang progresif. Infeksi periodontal diawali dan dipertahankan oleh beberapa bakteri, gram negatif secara predominan, aerobik, dan bakteri mikroaerofilik yang berkolonisasi pada area sub gingival. Mekanisme pertahanan host merupakan aturan  main yang integral dalam patogenesis
a.     Translokasi organisme patogen periodontal dan atau mediator inflamatori ke unit feto-plasenta

Pada awal tahun 1990-an, Collins dkk. menyatakan hipotesis bahwa infeksi oral, seperti periodontitis dapat bertindak sebagai sumber bakteri dan mediator inflamatori yang dapat menyebar secara sistemik ke unit fetal-plasenta via sirkulasi darah dan menginduksi kelahiran prematur bayi.1 Bakteri dapat menginduksi aktivasi sel imunitas tubuh yang merangsang produksi sitokin seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor alpha (TNF-α); dan pelepasan prostalglandin khusus nya prostalglandin-E2 (PGE2). Patogen periodontal yang diduga memiliki hubungan dengan PLBW adalah Treponema denticola, Porphyromonas gingivalis, Bacteroides forsythus dan Actinobacillus actinomycetemcomitans (Offenbacher dkk. 1998).
Pada kehamilan trimester kedua terjadi peningkatan jumlah bakteri anaerob gram negatif pada plak gigi dibandingkan dengan jumlah bakteri aerob. Pada saat kondisi oral higiena kurang baik, bakteri periodontal berakumulasi di daerah servikal gigi dan membentuk suatu struktur yang dikenal sebagai “bacterial biofilm”. Pada biofilm matang, bakteri menghasilkan banyak faktor virulensi, termasuk lipopolysaccharide (LPS) yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan periodontal secara langsung atau menstimulasi host untuk mengaktifkan respon inflamatori lokal.1 Lipopolysaccharide dapat mengaktivasi macrophages dan sel lain yang berfungsi mensintesis dan mensekresi molekul berspektrum luas, termasuk sitokin (IL-1β, TNF-α dan IL-6) dan prostalglandin. Respon inflamatori lokal bertujuan untuk mengeliminasi infeksi yang terjadi, namun dapat menyebabkan kehilangan struktur periodontal yang lebih lanjut.
Kemampuan dari organisme patogen periodontal dan faktor virulensinya menyebar dan merangsang pembentukan respon inflamatori lokal dan sistemik pada host, telah menghasilkan suatu hipotesis bahwa penyakit periodontal dapat mempengaruhi jaringan selain jaringan periodontal. Konsep ini telah dilaporkan sebelumnya oleh Miller pada tahun 1891.
Jika respon imun tubuh dan neutrofil tidak mampu melokalisasi proses infeksi (seperti respon IgG maternal rendah terhadap bakteri); kemudian bakteri dan atau faktor virulensinya dan sitokin inflamatori akan masuk secara sistemik melalui sirkulasi darah. Bukti klinisnya akan terlihat melalui perdarahan pada probing dan peningkatan kedalaman saku periodontal selama kehamilan.
Keberadaan bakteri dalam sirkulasi darah akan merangsang host membentuk respon inflamatori berikutnya secara sistemik, terutama melalui produksi sitokin inflamatori yang lebih banyak dan acute-phase reactants seperti C-reactive protein. Pada akhirnya, bakteri dan atau faktor virulensinya dan sitokin inflamatori akan mencapai plasenta; sekitar 40 persen dari semua kehamilan dihubungkan dengan respon antibodi IgM janin terhadap organisme oral maternal. Hal ini akan menciptakan daerah rentan bakteri yang lain dan memungkinkan terjadinya infeksi pada plasenta, yang mengarah kepada pembentukan respon inflamatori baru yang terlokalisasi pada hubungan feto-plasenta, berupa peningkatan produksi sitokin inflamatori. Seperti halnya pada jaringan ikat periodontal, sitokin yang terbentuk pada daerah ini, walaupun diproduksi dengan tujuan melawan proses infeksi, namun juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan ikat. Kenaikan produksi sitokin inflamatori seperti interleukin 1β dan prostalglandin E2 juga memiliki konstribusi terhadap rupturnya membran secara prematur, kontraksi uterus dan memicu kelahiran prematur.
Integritas struktur plasenta sangat penting untuk pertukaran nutrisi yang normal antara ibu dan janin. Kerusakan dari jaringan ikat plasenta ini dapat menyebabkan gangguan perkembangan janin yang dapat memicu bayi lahir dengan berat badan rendah. Selain itu, kerusakan struktur plasenta juga dapat menganggu aliran darah normal antara ibu dan janin, yang mempengaruhi tekanan darah ibu hamil dan memicu kondisi pre-eklamsia.
Pada akhirnya, bakteri periodontal dan atau faktor virulensinya dan sitokin inflamatori akan melewati plasenta; dan masuk ke sirkulasi janin. Bakteri periodontal dan atau faktor virulensinya dan sitokin inflamatori akan merangsang pembentukan fetal-host-immune-response yang baru, seperti yang dibuktikan melalui observasi kenaikan level IgM janin terhadap bakteri patogen periodontal. Jika janin tidak dapat mengontrol infeksi ini, akan terbuka akses bagi bakteri dan faktor virulensinya ke berbagai jaringan ikat tubuh, merangsang respon inflamatori lokal dan sebagai akibatnya terjadi kerusakan struktur jaringan ikat tubuh dan sistem organ janin. Suatu keadaan dimana janin dapat atau tidak dapat bertahan hidup pada masa perinatal adalah tergantung kepada perluasan kerusakan yang terjadi. Bagaimanapun, bayi yang berhasil bertahan hidup akan menderita cacat yang akan mempengaruhi kualitas hidupnya, hingga dewasa.
Dewasa ini infeksi dipertimbangkan sebagai suatu penyebab utama dari PLBW, berperan dalam 30 persen hingga 50 persen dari semua kasus. Infeksi bakteri pada chorioamnion atau membran ekstraplasenta dapat memicu terjadinya chorioamnionitis, yaitu suatu kondisi yang berhubungan kuat dengan rupturnya membran secara prematur dan kelahiran prematur. Banyak kasus menegaskan chorioamnionitis tidak memiliki hubungan dengan infeksi traktus genitourinaria dan kultur memperlihatkan hasil negatif; kedua hal ini menunjukkan bahwa infeksi lokal bukan merupakan penyebab utama chorioamnionitis. Penemuan ini memunculkan pemikiran bahwa infeksi dapat berada jauh dari kompleks plasenta atau traktus genitourinaria; dan masih menjadi faktor resiko bagi PLBW, sebagai akibat dari translokasi produk bakteri seperti endotoksin (lipopolysaccharide atau LPS); atau produksi mediator inflamatori; atau keduanya.
Pada 18 persen hingga 49 persen membran chorioamniotic yang terinflamasi, tidak ada organisme bakteri yang teridentifikasi. Hal ini menghasilkan pemikiran bahwa peran infeksi periodontal sebagai suatu faktor resiko terjadinya PLBW, lebih sering melibatkan translokasi produk bakteri (khusus nya lipopolysaccharide) atau mediator inflamasi (khususnya IL-1, IL-6, TNF-α dan PGE2) daripada penyebaran bakteri dan translokasi bakterinya sendiri.
Suatu mekanisme yang mungkin terjadi dalam keterkaitan antara penyakit periodontal dan kelahiran prematur yaitu adanya mikroorganisme, endotoksinnya dan mediator inflamatori host yang dihasilkan dapat mencapai kavitas uterin dari bagian tubuh yang letaknya jauh, seperti rongga mulut, secara langsung atau melalui pembuluh darah dan meningkatkan mediator inflamatori pada decidua dan membran. Mekanisme ini dapat mengakibatkan terjadinya produksi prostalglandin atau kontraksi uterin secara langsung yang dapat memicu dilatasi servikal. Dilatasi serviks memungkinkan masuknya bakteri, produknya dan sitokin lebih jauh ke kavitas uterin yang berlanjut hingga kelahiran prematur atau rupturnya membran secara prematur.



Selasa, 18 Juni 2013

ketrampilan sosial anak


2.1. Keterampilan Sosial
2.1.1. Pengertian Keterampilan sosial
Terdapat berbagai macam definisi mengenai keterampilan sosial. Salah satu definisi keterampilan sosial yang diungkapkan oleh Libet dan Lewinston (dalam Cartledge & Milburn,1995) bahwa keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk berperilaku seperti yang diharapkan orang lain dan tidak melakukan apa yang tidak dikehendaki oleh orang lain. Menurut Combs dan Slaby (dalam Cartledge & Milburn,1995) menjelaskan bahwa keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan sosial dengan cara-cara khusus yang dapat diterima oleh lingkungan dan pada saat bersamaan dapat menguntungkan individu atau bersifat saling menguntungkan atau menguntungkan orang lain.
Eisler dan Frederikson (dalam Cartledge & Milburn,1995) mendes-kripsikan keterampilan sosial sebagai aspek-aspek yang bisa diamati (Observable aspect) dan elemen – elemen kognitif yang tidak dapat diamati (Non Observable Cognitive element). Elemen tersebut meliputi harapan, pemikiran dan keputusan mengenai apa yang seharusnya dikatakan dan dilakukan dalam berinteraksi, persepsi yang tepat mengenai apa yang diharapkan oleh orang lain atau respon apa yang paling disukai orang lain mengenai pendapatnya. Cartledge & Milburn (1995) mengemukakan keterampilan sosial merupakan perilaku yang dipelajari, diterima dan dapat membuat seseorang berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang dapat memunculkan reaksi positif dari orang lain serta dapat menghindari reaksi negatif dari orang lain.
Dari dua  definisi diatas   maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial adalah suatu kemampuan yang dipelajari  dan dimiliki oleh individu untuk dapat memunculkan perilaku yang specifik dalam situasi tertentu dengan tujuan agar dapat mencapai dan melakukan tujuan interaksi sosial dengan baik sehingga dapat menjadi kompeten secara sosial.
Keterampilan sosial menggambarkan kemampuan spesifik untuk membentuk kemampuan sosial. Seseorang yang kurang memiliki  keterampilan sosial ditandai dengan rendahnya kualitas dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki kecemasan yang tinggi  dan kurang mempunyai pengalaman sosial sehingga sering merasa kesepian, tidak bahagia, menarik diri dan agresif. Kesulitan dalam keterampilan sosial dianggap wajar apabila masih dalam taraf  normal, tetapi apabila kesulitan ini tidak ditangani dengan baik, maka hal ini akan berpengaruh pada tingkat perkembangannya yang selanjutnya dan semakin lama masalah sosialisasi ini akan dapat menimbulkan stres.
Keterampilan sosial anak merupakan cara anak dalam melakukan interaksi, baik dalam hal bertingkah laku maupun dalam hal berkomunikasi dengan orang lain. Anak akan baik perkembangan keterampilan sosialnya apabila pola asuhnya baik pula yang diberikan oleh orangtuanya. Namun kebanyakan para orang tua sering beranggapan bahwa keterampilan sosial anaknya tidaklah begitu penting untuk diperhatikan dalam kehidupannya. Karena si anak akan dapat belajar dengan sendirinya untuk berinteraksi secara baik dengan teman, saudara atau orang lain.
Keterampilan sosial merupakan bagian dari kompetensi sosial. Cavel (dalam Cardledge & Milburn,1995) menyebutkan bahwa kompetensi sosial terdiri dari tiga konstrak yaitu penyesuaian sosial, performansi sosial dan keterampilan sosial. Bagi seorang anak kompetensi sosial dan keterampilan sosial merupakan faktor yang penting untuk memulai dan memiliki hubungan sosial yang positif (Rubin, Bukowski & Parker,1998). Anak yang tidak memiliki keterampilan sosial, akan kesulitan dalam memulai dan menjalin hubungan yang positif dengan lingkungannya, bahkan boleh jadi akan ditolak atau diabaikan oleh lingkungannya.



2.2.2.       Faktor- Faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial
Keterampilan sosial bagi sebagian besar anak- anak berkembang  secara alami sesuai dengan pertumbuhan mereka. Pada umumnya anak-anak mempelajari keterampilan sosial tersebut dari interaksi sehari-hari mereka dengan orang lain. sebagai sebuah kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar, maka perkembangan keterampilan sosial anak tergantung pada berbagai faktor, yaitu kondisi anak  sendiri serta pengalaman interaksinya dengan lingkungan sebagai sarana dan media pembelajaran. secara lebih terinci, faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1.      Kondisi anak
Ada beberapa kondisi anak yang mempengaruhi tingkat keterampilan sosial anak, antara lain temperamen anak (Kagan & Bates dalam Rubin, Bukowski & Parker,1998), regulasi emosi (Rubin,Coplan, Fox & Calkins dalam Rubin, Bukowski & Parker,1998) serta kemampuan sosial kognitif (Robinson &Garber, 1995). Penelitian memperlihatkan bahwa anak-anak yang memiliki temperamen  sulit dan cenderung mudah terluka secara psikis, biasanya akan takut dan malu-malu dalam menghadapi stimulus sosial yang baru, sedangkan anak-anak yang ramah dan terbuka lebih responsive terhadap lingkungan sosial(Kagan & Bates dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998). Selain itu anak-anak yang memiliki temperamen sulit ini cenderung lebih agresif dan impulsive sehingga sering ditolak oleh teman sebaya (Kagan & Bates dalam Rubin, Bukowski & Parker,1998). Kedua kondisi ini menyebabkan kesempatan mereka untuk berinteraksi dengan teman sebaya berkurang, padahal interaksi merupakan media yang penting dalam proses belajar keterampilan sosial.
Kemampuan mengatur emosi juga mempengaruhi keterampilan sosial anak. Penelitian yang dilakukan oleh (Rubin,Coplan, Fox & Calkins dalam Rubin, Bukowski & Parker,1998) membuktikan bahwa pengaturan emosi sangat membantu, baik bagi anak yang mampu bersosialisasi dengan lancar  maupun yang tidak. Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. anak yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka walaupun jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak anak yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi cenderung akan berperilku agresif dan merusak. Adapun anak-anak yang tidak mampu bersosialisasi dan mengontol emosi, cenderung lebih pencemas dan kurang berani bereksplorasi.
Perkembangan keterampilan sosial anak juga dipengaruhi oleh kemampuan sosial kognitifnya yaitu keterampilan memproses  semua informasi yang ada dalam proses sosial. Kemampuan ini antara lain kemampuan mengenali isyarat sosial, menginterprestasi isyarat sosial dengan cara yang tepat dan bermakna, mengevaluasi konsekuensi dari beberapa kemungkinan respon serta memilih respon yang akan dilakukan (Dodge, dkk dalam Robinson & Garber,1995). Kemampuan sosial kognitif lainnya yang juga penting adalah kemampuan melihat dari perspektif orang lain (perspektif taking) dan kemampuan empati (Robinson & Garber, 1995). Semakin baik keterampilan memproses informasi sosial anak, maka akan semakin mudah baginya untuk membentuk hubungan suportif dengan orang lain.yang berarti akan menambah luas jaringan sosial sebagai media pengembangan keterampilan sosialnya (Robinson & Garber, 1995)
2.        Interaksi anak dengan lingkungan
Lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan sosial adalah lingkungan keluarga dan lingkungan diluar keluarga, misalnya lingkungan sekolah. Sekolah adalah tempat yang kritis untuk meningkatkan tidak hanya aspek kognitif (seperti belajar), tetapi juga aspek perilaku dan emosi (Warwick  dalam Mulder, 2008). Misalnya di ruangan kelas yang mempunyai banyak permainan, game atau peralatan yang menciptakan sebuah lingkungan yang mendorong interaksi sosial dan memberikan kesempatan lebih pada anak untuk mempraktekkan keterampilan sosial anak.
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dalam kehidupan seorang anak untuk tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun mental (Gerungan, 2004). Lingkungan keluarga yang tidak harmonis (perselisihan dan perceraian), dapat memberikan dampak yang besar pada perilaku anak secara tidak langsung (Belsky, 1984,Hetherington et al,1989 , Snyder, 1991 dalam Najman, 2000).
Secara umum, pola interaksi anak dan orang tua serta kualitas hubungan pertemanan dan penerimaan anak dalam kelompok merupakan dua faktor eksternal atau lingkungan yang cukup berpengaruh bagi perkembangan sosial anak. Anak banyak belajar mengembangkan keterampilan sosial baik dengan proses modeling (peniruan) terhadap perilaku orang tua dan teman sebaya, ataupun melalui penerimaan penghargaan saat melakukan sesuatu yang tepat dan penerimaan hukuman saat melakukan sesuatu yang tidak pantas menurut orang tua dan teman sebaya.
Keterampilan sosial anak terutama dipengaruhi oleh proses sosialisasinya dengan orang tua yang mulai terjalin sejak awal kelahiran. Proses sosialisasi yang berawal sejak bayi ini, menjadi lebih disadari dan sistematis seiring dengan bertambahnya kemampuan anak dalam keterampilan motorik dan penggunaan bahasa. Pelukan yang diberikan oleh orang tua dan pujian yang mereka terima saat memperoleh kemampuan baru atau larangan saat melakukan sesuatu merupakan beberapa contoh sosialisasi yang secara sistematis mempengaruhi anak. Nilai, kepercayaan, keterampilan, sikap dan motif yang disosialisasikan oleh orang tua ini kemudian diinternalisasikan oleh anak dan menjadi dasar perilakunya dalam kehidupan(Kuczynski, Marshall & schell, 1997 dalam Desvi, 2005).
Sebagai figure yang paling dekat dengan anak, orang tua tidak hanya berperan dalam mengajarkan keterampilan sosial secara langsung pada anak, tetapi juga berperan dalam hubungan dengan lingkungan terutama dengan teman sebaya.
3.        Usia
Anak pada usia pra sekolah memiliki sifat egosentris yang tinggi dan masih sulit untuk memahami orang lain, akan tetapi ketika anak mulai memasuki usia akhir kanak-kanak dan mulai bersekolah maka sikap egosentris anak sudah mulai berkurang, anak mulai berpusat pada kebutuhan orang lain serta mulai mempertimbangkan orang lain (Graha, 2007). Pada usia sekolah anak semakin sering berinteraksi dengan anak-anak lain, yang dapat meningkatkan kemampuan serta pemahaman anak akan pentingnya untuk memiliki keterampilan yang dapat membantu dalam menjalin hubungan dengan orang lain serta teman sebayanya.
Perkembangan kognitif anak juga berpengaruh terhadap keterampilan sosial. Perkembangan kognitif anak akan berkembang seiring dengan pertambahan usia seseorang. Menurut Hurlock (1993) kognisi sosial anak tentang teman sebaya sangat penting untuk memahami bagaimana hubungan dengan teman sebaya. Anak-anak yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, dianggap tidak memiliki ketampilan sosial yang memadai untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain.
4.        Jenis kelamin
Anak perempuan dan anak laki-laki memiliki perbedaan pola interaksi,  hal ini mempengaruhi pula pada keterampilan sosial anak. Dua anak yang usianya sama tetapi berjenis kelamin berbeda, maka keterampilan sosialnya pada aspek aspek tertentu juga berbeda. Pada masa kanak-kanak anak laki-laki lebih menyukai permainan yang banyak melibatkan aktivitas fisik dalam berinteraksi dengan sosial. Sedangkan anak perempuan lebih menyukai permainan yang lebih bersifat pasif dan menetap. Perbedaan gender tersebut dipengaruhi oleh dampak biologis, namun berdasarkan beberapa bukti yang diperoleh, belajar sosial mempunyai pengaruh yang lebih tinggi. Anak perempuan mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya penarikan sosial (menarik diri) dibandingkan dengan anak laki-laki pada ibu yang otoriter (Nelson et al, 2006).
5.        Keadaan sosial ekonomi
Kondisi perekonomian orang tua (keluarga) akan berdampak pada sikap interaksi sosial anak. Secara umum dapat tergambarkan bahwa anak-anak yang memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik maka anak akan memiliki kepercayaan yang baik pula, seperti yang dikemukakan oleh Zakiah Darajat (1987:87) Anak-anak orang kaya memiliki berbagai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan sosialnya pada berbagai kesempatan dan kondisi lingkungan yang berbeda. Payne (dalam Mulder, 2008) menyatakan anak yang tinggal dalam keluarga dengan sumber penghasilan ekonomi sedikit cenderung kurang mempunyai kompetensi sosial pada usia muda karena kesempatan sosial jarang karena terbatasnya waktu dan uang.
6.        Pendidikan orang tua
Pendidikan orang tua mempengaruhi bagaimana anak bersikap dengan lingkungannya. Ketidaktahuan orang tua akan kebutuhan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya tentu membatasi anak untuk dapat lebih leluasa melakukan eksplorasi sosial diluar lingkungan rumahnya. Pendidikan orang tua yang tinggi atau pengetahuan yang luas maka orang tua memahami bagaimana harus memposisikan diri dalam tahapan perkembangan anak. orang tua yang memiliki pengetahuan dan pendidikan yang baik maka akan mendukung anaknya agar bisa berinteraksi sosial yang baik.
7.        Jumlah saudara
Menurut Downey and Condrom (dalam Mulder, 2008) menyatakan bahwa keterampilan sosial dan interpersonal anak mempunyai pengaruh positif melalui interaksi dengan saudara kandung dirumah dan keterampilan itu menjadi lebih berguna saat  berada diluar rumah. Hasil penelitannya menunjukkan bahwa para guru menilai siswa yang mempunyai satu saudara kandung mempunyai keterampilan interpersonal lebih baik dibandingkan yang tidak mempunyai saudara kandung.
8.        Struktur keluarga
Hasil penelitian yang dilakukan Hastuti (2009) membandingkan antara keluarga besar dan keluarga inti terhadap perkembangan psikososial anak, dimana hasil uji statistik menyatakan besarnya keluarga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap perkembangan psikososial anak. Davis dan Forsythe (1984) dalam Mu’tadzin (2002) Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis atau broken home dimana anak  tidak mendapatkan kepuasan psikis yang cukup maka anak akan sulit mengembangkan keterampilan sosialnya.
9.        Pekerjaan
Hasil penelitian dari Liebling (2004) yang menyatakan bahwa pada kondisi ibu bekerja diluar rumah mengakibatkan waktu bertemu dengan anak akan menjadi berkurang, sehingga ibu tidak bisa maksimal dalam mendidik dan membimbing anak, sehingga akan berpengaruh terhadap keterampilan sosial anak.

2.2.3.      Elemen-elemen keterampilan sosial anak
Menurut Caldarella dan Merrel (1997) terdapat 5 elemen keterampilan sosial yaitu :
1.        Keterampilan yang berhubungan dengan teman sebaya (Peer Relationship Skills).
Keterampilan atau perilaku seorang anak yang dianggap positif oleh teman sebaya serta memiliki interaksi yang positif dengan teman sebaya. Dimensi ini ditunjukkan dengan beberapa ciri sebagai berikut : 1) memberikan pujian terhadap teman sebaya. 2) menawarkan bantuan atau pertolongan ketika dibutuhkan, 3) mengundang atau mengajak teman untuk bermain atau berinteraksi, 4) berpartisipasi dalam berdiskusi, berbicara dengan teman dalam waktu yang lama 5) membela hak teman dan membela teman yang dalam kesulitan, 6) dicari oleh teman untuk bergabung bersama dalam  aktivitas, menjadi seseorang yang disenangi oleh semua orang, 7) memiliki kemampuan dan keterampilan yang disukai oleh teman sebaya, berpartisipasi penuh dengan teman sebaya, 8) mampu mengawali atau bergabung dalam percakapan dengan teman sebaya, 9) peka terhadap perasaan teman (empati dan simpati), 10) memiliki keterampilan kepemimpinan yang baik, melaksanakan peran kepemimpinan dalam aktivitas bersama teman teman sebaya, 11) mudah untuk berteman dan  memiliki banyak teman, 12) memiliki selera humor yang baik dan dapat bercanda atau bergurau dengan teman.
2.   Keterampilan yang berhubungan dengan diri sendiri (self management skills).
Keterampilan atau perilaku yang merefleksikan seorang anak untuk dapat mengatur dirinya sendiri dalam  lingkungan sosial. Seorang anak yang mempunyai kemampuan ini akan mampu memperkirakan dampak perilakunya pada suatu situasi. Beberapa bentuk perilaku ini adalah 1) tetap bersikap tenang ketika ada masalah dan dapat mengontrol emosi ketika marah, 2) mengikuti peraturan-peraturan, menerima batasan-batasan yang diberikan, 3) melakukan kompromi secara tepat dengan orang lain ketika menghadapi konflik, 4) menerima kritikan dari orang lain dengan baik,  5) merespon gangguan dari teman dengan cara mengabaikan,  memberikan respon yang tepat terhadap gangguan, 6) bekerja sama dengan orang lain dalam berbagai situasi.
3.   Keterampilan yang berhubungan dengan kesuksesan akademik (academic skills).
Merupakan perilaku atau keterampilan sosial yang dapat mendukung prestasi belajar disekolah, misalnya mendengarkan dengan tenang saat guru menerangkan pelajaran, mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, melakukan apa yang diminta oleh guru, dan semua perilaku yang mengikuti aturan kelas. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa keterampilan sosial berhubungan dengan perilaku yang mendukung prestasi belajar disekolah. Bentuk-bentuk perilaku tersebut misalnya : 1) mengerjakan tugas secara mandiri, menunjukkan keterampilan untuk belajar secara mandiri. 2) mampu menyelesaikan tugas  individual. 3) mendengarkan dan melaksanakan petunjuk dari guru, 4) dapat bekerja sesuai dengan kapasitas yang dimiliki 5) memanfaatkan waktu luang dengan baik 6) mengatur diri pribadi dengan baik 7) bertanya atau meminta bantuan secara tepat,  8) mengabaikan gangguan dari teman ketika sedang bekerja atau belajar.

4.        Keterampilan yang berhubungan dengan kemampuan anak dalam memenuhi permintaan orang lain (Compliance skills).
Dimensi yang akan merefleksikan seorang anak atau remaja yang dapat memenuhi permintaan dari orang lain dengan sesuai. Dimensi ini ditunjukkan dengan karakteristik sebagai berikut : 1) mengikuti petunjuk atau instruksi 2) mematuhi atau mentaati peraturan 3) memanfaatkan waktu luang dengan baik 4) menggunakan mainan bersama 5) memberikan respon yang tepat terhadap kritik 6) menyelesaikan tugas 7) menempatkan mainan atau tugas pada tempat yang sesuai.
5.        Keterampilan interpersonal (Asertion skills).
Merupakan perilaku yang menyangkut keterampilan yang dipergunakan selama melakukan interaksi sosial. Perilaku ini disebut juga keterampilan menjalin persahabatan, misalnya memperkenalkan diri, menawarkan bantuan, dan memberikan atau menerima pujian. keterampilan ini kemungkinan berhubungan dengan usia dan jenis kelamin.
Dimensi yang dapat merefleksikan seorang anak atau remaja dapat dikatakan memiliki sikap mudah bergaul dan extrovet oleh orang lain.perilaku-perilaku yang termasuk didalamnya adalah : 1) mengawali percakapan 2) memperkenalkan diri 3)menerima atau memberikan pujian 4) mengundang teman untuk bermain 5) percaya diri 6) mempertanyakan peraturan yang tidak adil  7) bergabung dengan suatu aktivitas kelompok yang sedang berlangsung 8) tampil percaya diri dengan lawan jenis.
Kelima dimensi tersebut saling tumpang tindih ( Overlap), akan tetapi masing-masing dimensi keterampilan sosial tersebut saling terkait antara satu dengan yang lainnya sehingga tidak bisa dipisahkan.
2.2.4.      Pengukuran keterampilan sosial.
Menurut Cartledge & Milburn (1995) terdapat beberapa bentuk pengukuran keterampilan sosial yaitu pengukuran oleh orang dewasa, teman sebaya dan anak sendiri (self assessment). Pengukuran oleh orang dewasa dapat menggunakan ceklist, instrument yang terstandarisasi dan observasi secara langsung. Umumnya dilakukan oleh orang-orang yang dianggap paling mengenal dan mengetahui perilaku anak, misalnya oleh orang tua dan guru. Pengukuran dengan  teknik observasi dapat dilakukan pada situasi (lingkungan alami) ataupun pada kondisi yang sudah terkondisi.
Pengukuran oleh teman sebaya bertujuan untuk mengungkap perasaan atau  sikapseseorang terhadap teman. Teman sebaya diminta untuk mengidentifikasikan teman yang mereka sukai dan mendiskripsikan secara singkat. Sedangkan pengukuran yang dilakukan oleh anak sendiri adalah dengan melibatkan anak untuk mengukur kompetensi sendiri. Teknik yang sering digunakan antara lain: skala, ceklist (daftar tilik), teknik monitoring diri dan lain-lain.
2.3.      Masa Kanak-Kanak Akhir.
2.3.1.      Pengertian.
Masa kanak-kanak akhir (late childhood) adalah masa anak – anak yang berada pada periode perkembangan antara usia kira kira 6 sampai 11 tahun            (Santrock,1998). Hurlock (1993) menyebutkan bahwa masa kanak-kanak akhir antara laki-laki dan perempuan berbeda yaitu usia 6 sampai 13 tahun pada anak perempuan dan sampai usia 14 tahun pada anak laki-laki. Monks dan Haditono (2004) masa kanak-kanak akhir terjadi pada usia antara 6-12 tahun, masa tersebut merupakan tahap ke IV ( empat) atau disebut juga fase latensi.
Menurut Hurlock (1993) usia tersebut sesuai dengan periode “usia sekolah” dan perkembangan utama pada masa ini adalah sosialisasi sehingga disebut dengan usia kelompok. Pada masa ini prestasi sekolah lebih diutamakan dan pengendalian diri mereka lebih meningkat.
2.3.2.      Ciri  - ciri masa kanak-kanak akhir.
Masa kanak-kanak akhir disebut juga dengan masa sekolah dasar ,karena pada masa ini anak diharapkan banyak memperoleh pengetahuan dasar yang penting untuk keberhasilan masa dewasa. Selain itu masa kanak-kanak akhir juga dianggap sebagai masa yang menyulitkan bagi orang tua, karena pada masa ini anak semakin sulit menuruti perintah orang tuanya, anak lebih banyak mendapatkan pengaruh dari teman sebayanya dibandingkan dari orang tua dan gurunya (Hurlock, 1993).
Selain ciri-ciri tersebut juga terdapat karakteristik lain yang menjadi ciri khas dari masa kanak-kanak akhir yaitu pada perkembangan  fisik, perkembangan kognitif  dan perkembangan sosio emosional.
2.3.3.      Perkembangan sosial pada masa kanak-kanak akhir.
Seorang anak dilahirkan belum mempunyai kemampuan bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan tersebut diperoleh anak melalui berbagai kesempatan dalam bergaul dengan orang-orang dilingkungannya (orangtua, saudara teman sebaya atau orang dewasa lainnya). Menurut Yusuf (2006) Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial atau suatu proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi, meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi serta bekerja sama.
Perkembangan sosial dan kepribadian mulai dari usia pra sekolah sampai akhir masa sekolah ditandai oleh meluasnya lingkungan social. Anak semakin melepaskan diri dari keluarga dan semakin mendekatkan diri pada orang orang lain disamping anggota keluarga (Monks & Haditono, 2004). Perkembangan sosial anak dipengaruhi oleh lingkungn sosialnya (orang tua, anak, keluarga, teman sebaya dan orang dewasa lainnya). Apabila lingkungan tersebut memfasilitasi  atau memberikan peluang terhadap perkembangan anak secara positif maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang. Sebaliknya apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif maka anak akan menampilkan perilaku maladjustment, seperti bersifat menarik diri, senang mendominasi orang lain, egois, senang menyendiri, kurang memiliki perasaan tenggang rasa dan kurang mempedulikan norma dalam berperilaku (Yusuf, 2006)
Menurut Erikson dalam Graha (2007) krisis psikososial yang terjadi pada masa ini adalah “Industri versus rasa rendah diri”. Pada masa ini sikap egosentris anak mulai berkurang, mempunyai jiwa kompetitif, mulai berkomunikasi dengan teman-temannya, sehingga anak tidak bisa berdiam diri.  Di sisi lain banyak orang tua yang menginginkan anaknya bisa duduk diam, sopan dan juga tenang. Keadaan tersebut jika terjadi dalam waktu lama dapat mengakibatkan anak menjadi malas bersosialisasi, kehilangan kesempatan untuk mengembangkan rasa kompetensinya dilingkungan teman-temannya.
Sekolah merupakan sistem sosial kecil tempat anak mempelajari aturan moral, sosial, sikap, dan cara bergaul dengan orang lain. Sekolah memberikan jaringan kelompok teman sebaya kepada anak. Pengaruh sosialisasi sekolah dihasilkan dari teman sebaya disamping guru dan program sekolah. Menurut penelitian Barker & Wright (dalam Santrock, 1998) menyatakan bahwa anak menghabiskan (10%) waktunya dengan teman sebaya pada usia 2 tahun, (20%) pada usia 4 tahun, dan lebih dari (40%) pada usia 7 tahun sampai 11 tahun. Melakukan aktivitas olahraga beregu, (45%) pada anak laki-laki dan (26%) pada anak perempuan. Permainan umum, melakukan perjalanan dan bersosialisasi banyak dilakukan  oleh anak laki laki. Interaksi dengan teman sebaya lebih banyak dilakukan diluar rumah dengan kelompok teman yang mempunyai kesamaan jenis kelamin.
Menurut Hurlock (1993) Tugas perkembangan pada masa kanak-kanak akhir adalah 1) mempelajari  keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan umum, 2) membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai mahkluk yang sedang tumbuh, 3) Belajar menyesuaikan diri dengan teman seusianya,        4) mulai mengembangkan peran sosial yang sesuai dengan jenis kelaminnya,       5) mengembangkan keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung,    6) mengembangkan pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari,      7) mengembangkan hati nurani, moral dan tingkatan nilai,  8) mengembangkan sikap terhadap kelompok social,  dan 9) mencapai kebebasan pribadi.
Menurut Yusuf (2006) terdapat beberapa bentuk  perilaku anak dalam melakukan hubungan sosial dengan orang lain, yaitu: pembangkangan                  (negativism), agresi (aggression), berselisih atau bertengkar (quarreling), menggoda ( teasing),  persaingan (rivarly), kerjasama (cooperation), tingkah laku berkuasa (ascendant behavior), mementingkan diri sendiri (selfishness) dan simpati ( sympaty)
Pada penelitian ini hanya meneliti keterampilan sosial anak pada usia 5-6 tahun. Alasan tersebut didasarkan pada : 1) teori psikososial menurut Erikson (dalam Graha, 2007) yang menyatakan bahwa sikap egosentris pada masa ini sudah mulai berkurang dibandingkan pada masa kanak-kanak awal serta 40 % waktu anak pada usia ini dihabiskan dengan teman sebaya, 2) untuk mengetahui lebih dini  apakah anak tersebut terjadi gangguan pada perkembangan sosialnya,  sehingga masalah tersebut dapat teratasi lebih dini.
Pada masa ini, teman sebaya memiliki peran penting dalam proses sosialisasi anak. Proses sosialisasi pada masa ini lebih berkaitan dengan penerapan nilai yang dapat diterima oleh lingkungan sosial dalam suatu permainan (Hetherington & Parke, 1999). Teman sebaya merupakan sumber informasi bagi seorang anak untuk mengetahui nilai dan bagaimana bersikap baik dalam memainkan suatu permainan.sama seperti halnya proses sosialisasi oleh orang tua, proses sosialisasi dengan teman sebaya dilakukan melalui modeling dan reinforcement. Anak lain berfungsi sebagai social model yang akan ditiru oleh anak dan pengukuh atas perilaku-perilakunya.
Teman sebaya memainkan peranan penting dalam membantu anak mengembangkan self image dan self esteem, karena memberikan sebuah standart bagi seorang anak dalam menilai dirinya sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak menggunakan perbandingan sosial dengan kelompok teman sebaya. Proses membandingkan diri ini merupakan dasar pembentukan self image dan self esteem seorang anak (Hetherington & Parke, 1999). Bila anak merasa memiliki kemampuan yang sama atau lebih dibandingkan teman sebayanya, maka akan membentuk self image yang positif dan sebaliknya, bila anak berpikir bahwa kemampuannya dibawah teman-temannya , maka akan membentuk self image yang negatif.
Interaksi dengan teman sebaya memberikan petualangan yang kritis bagi seorang anak untuk mencapai kompetensi sosial yang penting. Juga berperan penting dalam mengembangkan self control dan kemampuan mereka untuk berpikir atau memodifikasi problem perilaku (Hetherington & Parke, 1999)
Pada masa ini, kognisi sosial anak berkembang dan mempengaruhi perilakunya. Kognisi ini berkaitan dengan bagaimana anak mengolah informasi yang berkaitan dengan lingkungan sosialnya. Pemrosesan informasi sosial secara tepat akan membantu anak dalam menentukan dan mencapau tujuan pribadi dan interpersonal, seperti bagaimana memulai dan memelihara suatu ikatan sosial. Tingkat kognisi  sosial ini akan mempengaruhi ketrampilan dan kompetensi yang akan berdampak pada penerimaan anak oleh teman sebaya (Santrock, 2002, Hetherington & Parke, 1999). Anak - anak yang memiliki ketrampilan sosial yang baik akan diterima oleh teman sebaya, sedangkan anak- anak yang ketrampilan sosialnya rendah  ada dua kemungkinan, ditolak atau diabaikan oleh teman sebaya. Penerimaan atau penolakan ini  berpengaruh pada anak, penelitian menunjukkan bahwa anak yang diterima akan mengembangkan sikap prososial dan mampu memelihara hubungan dengan teman sebaya, sedangkan anak yang ditolak cenderung mengembangkan sikap agresif dan anak yang diabaikan cenderung menarik diri dari interaksi sosial (Hetherington & Parke, 1999)
Menurut piaget, perkembangan kanak-kanak menengah dan akhir  berada dalam suatu transisi antara dua tahap yaitu tahap realisme moral atau heteronomous morality dan tahap moralitas berdasarkan hubungan timbal balik atau disebut juga autonomous morality(dalam Hetherington dan Parke, 1999; Santrock, 2002; Hurlock, 1993).
Dalam tahap realisme moral, anak melihat peraturan dari orang tua dan orang dewasa lainnya sebagai sesuatu yang tidak akan berubah sehingga mereka harus senantiasa mentaati tanpa perlu mempertanyakan. Mereka juga cenderung mentaati peraturan secara kaku dan menilai kebenaran atau kebaikan berdasarkan konsekuensi perilaku, bukan berdasarkan  maksud atau motivasi si pelaku. Pada tahap moralitas berdasarkan hubungan timbal balik, anak sudah menyadari bahwa peraturan merupakan kesepakatan sosial yang dapat berubah dan boleh dipertanyakan.  Anak juga sudah mampu melihat bahwa ia tidak perlu patuh pada keinginan orang lain dan bahwa pelanggaran peraturan tidak selalu merupakan kesalahan atau pasti akan mendapat hukuman. Dalam menilai perilaku orang lain, anak sudah mampu mempertimbangkan  perasaan dan melihat dari sudut pandang orang tersebut(dalam Hetherington dan Parke, 1999; Santrock, 2002; Hurlock, 1993).
Piaget berpendapat seraya berkembang, anak juga menjadi lebih canggih dalam berpikir tentang persoalan-persoalan  sosial. Piaget yakin bahwa peningkatan pemahaman sosial ini terjadi melalui interaksi anak dengan lingkungannya, terutama orang tua dan teman sebaya(Hurlock, 1993).